Katanya, Tak Ada Lagi Banjir dan Penggusuran di Jakarta


[portalpiyungan.com] Sejak Jokowi menerima amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, Jakarta tidak pernah lagi banjir.

Jokowi dan media pendukungnya menggunakan istilah "GENANGAN" untuk menggantikan kata "BANJIR". Tak peduli luapan air tersebut berketinggian sejengkal, sebetis, sepaha, sepinggang, sedada, atau lebih tinggi dari kepala, semua disebut genangan bukan banjir.

Warisan istilah "GENANGAN" ini diterima dan dilanjutkan dengan baik oleh Ahok. Maka, sebenarnya agak lucu jika warga Jakarta dan publik selalu ribut soal banjir saat hujan mengguyur Jakarta. Lucu karena, sejak 2012 mereka sudah memahami bahwa di Jakarta tidak ada banjir, adanya genangan.

Kini, Ahok dan media pendukungnya memperkenalkan istilah baru. Jika sebelumnya publik dihebohkan dengan "PENGGUSURAN", maka mulai kini tak akan ada lagi penggusuran di Jakarta. Adanya "PEMINDAHAN".

Sebenarnya, menggusur dengan memindah memiliki dua arti berbeda. Maka jika Ahok mengklaim tidak menggusur tetapi memindahkan, maka seharusnya yang terjadi adalah, seluruh warga yang digusur menempati lokasi baru. Itulah makna "MEMINDAHKAN".

Yang kerap terjadi pasca penggusuran, warga tak memiliki rumah, Jadi sejatinya, "PENGGUSURAN" bukanlah "PEMINDAHAN".

Upaya eufemisme yang dilakukan oleh baik Jokowi maupun Ahok bukanlah trik sembarangan. Mereka membayar mahal konsultan media untuk memperhalus peristiwa besar yang terkadang keji menjadi seolah-olah hal biasa dan lumrah.

Mengapa media pendukung Jokowi dan Ahok tega membodohi publik?

Eufemisme terhadap banjir dan penggusuran adalah pelecehan terhadap kecerdasan publik. Apalagi pembodohan dan pelecehan ini berujung pada setumpuk uang.

Seorang rekan jurnalis, Riman Wahyudi menggugat eufemisme ini.

"Banjir 3 meter, ya 3 meter. Jangan dibilang genangan. Itu banjir, bukan genangan," tulis Riman Sabtu lalu 20 Agustus 2016.

Begitu pula dengan proses penggusuran yang terjadi di berbagai tempat di Jakarta. Pemprov DKI selalu mengklaim bahwa yang mereka lakukan adalah merelokasi, bukan menggusur. Faktanya lokasi yang disediakan kerap tidak cukup untuk menampung seluruh warga dan jauh dari lokasi awal. Sehingga menimbulkan berbagai persoalan baru bagi warga yang tergusur.

Sampai kapan dusta ini akan terus dijalani oleh para pemimpin di negri ini?