Responsibility to protect (R2P) adalah doktrin yang didirkan oleh negara-negara PBB untuk mencegah pembunuhan massal |
Reuters menulis sebuah artikel pada Senin (24/10) yang mengulas peran PBB dalam perdamaian dunia dan kaitannya dengan perang Suriah. Berikut terjemahan dari artikel Reuters:
Konvensi Jenewa dan Dewan Keamanan PBB didirikan setelah Perang Dunia II untuk memelihara perdamaian dan melindungi orang-orang di daerah konflik.
Negara-negara anggota badan dunia itu juga membentuk doktrin abad 21 dengan nama Responsibility To Protect (R2P), dengan tujuan mencegah pembunuhan massal. Namun, R2P hanya memiliki sedikit keberasilan.
Meskipun baru diformalkan pada tahun 2005, R2P sudah muncul sejak peristiwa genosida tahun 1994 di Rwanda, dimana ekstremis Hutu membantai sekitar 800.000 orang Tutsi dan Hutu moderat.
Doktrin R2P juga berasal dari keinginan mencegah terulangnya kekejaman seperti insiden pembantaian 8.000 pria dewasa dan anak laki-laki Muslim Bosnia oleh pasukan Serbia di kota Srebrenica pada 1995.
Hal itu memberikan tanggung jawab pada masyarakat internasional agar menggunakan diplomasi, kemanusiaan dan hal lainnya yang dapat membantu melindungi sebuah populasi dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis.
Contoh lain peran R2P adalah melindungi rakyat Kosovo dari pemboman NATO ke Serbia pada tahun 1999, dan bantuan administrasi PBB untuk Timor Timur saat berpisah dari Indonesia.
Tapi sekarang, R2P hanyalah sebuah "aspirasi moral yang tinggi" dan tidak berdaya pada realitas peperangan saat ini yang cukup kompleks, menurut Paddy Ashdown, seorang anggota parlemen Inggris yang menjabat sebagai wakil Bosnia dan Herzegovina pada 2002-2006.
Ashdown mengatakan, dunia telah menjadi enggan terlibat dalam konflik yang berantakan dan berlarut-larut.
"R2P telah berubah, dari sebuah harapan tinggi menjadi koleksi kata-kata menarik yang tergeletak di meja", seru Ashdown.
Perang Suriah meletus pada tahun 2011 saat terjadi pemberontakan rakyat terhadap kekuasaan keluarga Assad yang telah memimpin selama lebih dari empat dekade. Rakyat terinspirasi oleh pemberontakan Arab Spring di Timur Tengah.
Perang tersebut telah menewaskan lebih dari 300.000 orang. Setengah populasi telah mengungsi dan banyak perkotaan Suriah telah hancur.
Negara-negara Barat mengatakan pemerintah Suriah dan sekutunya (Rusia) bersalah karena telah melakukan kejahatan perang dengan menargetkan warga sipil, konvoi bantuan dan rumah sakit. Dimana Moskow dan Damaskus mengklaim mereka hanya menargetkan militan.
"Suriah adalah contoh kasus dimana rakyat memohon tanggung jawab untuk melindungi mereka dan tidak ada yang menunjukkan tanggung jawab apa pun", kata Michael Ignatieff, akademik dan spesialis intervensi kemanusiaan.
Satu masalah dalam R2P adalah konsep hubungan internasional yang diusung dari abad ke-19 bahwa Negara-negara harus campur tangan "ketika suatu negara tidak mampu atau tidak mau untuk melindungi penduduknya sendiri", kata Ghassan Salame, mantan penasihat senior sekretaris jenderal PBB
"Tapi R2P juga menanggung beberapa penolakan sebagai akibat dampak ideologis Barat pada seluruh dunia", kata Salame kepada Reuters.
Kemampuan Barat untuk menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian cukup diragukan saat R2P dipanggil ke Libya pada 2011 untuk menghentikan Gaddafi membunuh rakyatnya sendiri.
Setelah dua perjanjian gencatan senjata antara Amerika Serikat dan Rusia untuk mengakhiri pertempuran di Aleppo gagal, babak baru pembicaraan didirikan di Jenewa memasukkan Arab Saudi dan Qatar, yang mendukung kelompok oposisi Suriah.
"Kita tidak hidup di dunia yang dapat membiarkan begitu saja pembunuhan dan orang-orang sekarat dalam sebuah negara berdaulat", kata Ignatieff, merujuk pada krisis pengungsi di Eropa yang berasal dari perang dan ketidakstabilan di Timur Tengah.
"Lihatlah Suriah, itu bukan hanya mengenai orang-orang Suriah yang sekarat. Ini juga memengaruhi stabilitas dan kohesi Eropa", tambahnya.
Untuk membangun perdamaian abadi, mencegah memang lebih baik daripada mengobati.
"Saya pikir PBB harus membujuk dunia untuk menggunakan diplomasi dalam mencapai perdamaian, daripada menggunakan bahan peledak", kata Ashdown. (Reuters)