Membuat Anak Tetap Tersenyum


"Abi, malam ini makannya beli di luar aja, ya?" istri saya bilang demikian. Dilihat dari raut wajahnya, sepertinya ia lelah sekali. Maklum, hari ini, Bang Alif agak meler hidungnya. Tidurnya kurang, makannya juga demikian. Hanya beberapa suap saja, tidak banyak seperti biasa. Yah, namanya juga sedang tidak enak badan. 

Karena hal inilah, barangkali, istri saya menjadi tidak sempat menyiapkan hidangan makan malam. Tidak ada apa-apa di dapur. Beberapa kali saya melongok kesana, berharap ada keajaiban munculnya makanan enak, tapi nihil. 

Tidak masalah. 

"Bagaimana, Bi? Nggak apa-apa beli makanan di luar?" Istri saya bersuara lagi. Ia selalu begitu, apa-apa meminta ijin suami. Semoga surga buat kamu ya, Ummi. 

"Eh, iya, beli saja. Nggak apa-apa, Ummi. Lagian, nggak setiap malam ini, kan? Terus, hari ini jualan online kita juga agak ramai, anggap aja ini sebagai hadiah ke diri sendiri yang sudah bekerja lebih. Jangan lupa tetap berdoa agar besok dan seterusnya, jualan kita tetap laris manis." 

Istri saya mengaminkan, lalu mengarahkan pandangannya ke anak kami yang sedang duduk termenung. Ia bilang ke Bang Alif, "Ummi mau beli makanan, Abang di rumah sama Abi aja ya? Abang kan lagi sakit, nggak boleh kena angin malam, nggak baik. Abang mau cepet sembuh, kan?" 

Anak saya yang masih satu tahun setengah itu paham dan mengangguk   tapi bibirnya lurus saja, seperti besi yang susah dibengkokkan. Dengan terpaksa, ia lalu mengambil bantal dan kemudian tiduran di samping saya. 

Saya membelai kepalanya hangat, berkata, "Ummi sebentar doang kok, Bang. Cuma beli nasi di warung. Nggak sampai setengah jam juga pasti sudah kembali. Abang baca buku aja sama Abi ya?" 

Sejurus kemudian, saya mengambil dua buku baru milik anak saya. Ia masih senang sekali bermain dengan dua buku itu. Satu buku berisi gambar hewan-hewan, sedangkan satu buku yang lain berisi gambar beraneka buah. 

Hewan yang paling ia sukai adalah gajah. Dan kata ini, gajah, juga menjadi kosa kata pertama yang keluar dari lisannya   jika tidak salah. Di dinding ruang tamu rumah kontrakan saya, ada beberapa tempelan hewan-hewan. Ada monyet yang bergelantungan, ada singa, ada gajah, jerapah, dan burung-burung. 

Ketika pertama kali hiasan itu ditempelkan disana, anak saya senang bukan main. Saya dan istri mengenalkan satu demi satu gambar yang melekat itu, "Ini gajah.. Ga... jah..." pelan-pelan kami ajarkan demikian. 

Akhirnya, kata itulah yang pertama ia ucapkan. Gajah! 

Hingga sekarang, setiap kali ada gambar gajah atau ketika tanpa sengaja melihat hewan ini di televisi, maka saya dan istri pasti akan berteriak, memanggil anak kami, lalu menunjuk, "Lihat, itu gajah.. Ga... jah..."

Dan anak kami, dengan sangat girang, sambil melompat-lompat, akan menunjuk-nunjuk juga. Bibirnya dimonyong-monyongkan, kegirangan. 

Nah, ketika malam ini dia agak manyun karena tidak diajak oleh istri saya keluar, buku bergambar gajah itulah yang saya jadikan pegangan. Saya bolak-balik lembarannya, menunjukkan gambar gajar sambil membujuknya agar sedikit tersenyum. Saya juga berusaha merangkai cerita ala kadarnya agar ia senang. 

Tapi, malangnya tidak berhasil. Anak saya masih cermberut. 

Jujur saja, sebagai seorang ayah yang baik   tsaaaaaah, saya tidak tahan jika anak saya sampai bersedih. Tidak akan saya biarkan terjadi. Apapun yang bisa saya lakukan, pasti akan saya kerjakan demi senyum anak saya kembali terkembang. 

Saya berpikir sejenak, lalu mendapatkan ide. Aha!

Saya buka laptop, lalu menghidupkan beberapa video lagu anak-anak yang terkenal sepanjang masa: Abang Tukang Bakso, Kalau Kau Suka Hati, Aku Naik Odong-Odong, Tek Kotek Kotek, dan sebagainya. 

Saya tahu bahwa lagu-lagu itu adalah kesukaannya. Maka ketika video mulai berjalan, satu dua menit, anak saya kembali riang. Ada senyum yang mulai mengembang. Alhamdulillah. 

Singkatnya, beberapa menit kemudian istri saya pulang dengan seplastik lauk pauk. Kami bertiga lalu makan malam bersama. 

Sungguh, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?