Myanmar persenjatai warga Rakhine selain Muslim

warga sipil Rohingya telah diungsikan dengan cara yang keras karena serangan pada 9 Oktober lalu.

Pihak berwenang di Myanmar mengatakan, pasukan keamanan mulai mempersenjatai dan melatih warga yang tidak beragama Muslim di utara Rakhine untuk melawan ancaman dari pejuang etnis Rohingya.

Pembela hak asasi manusia mengatakan, langkah itu bisa menyebabkan lebih banyak konflik dan pelanggaran terhadap warga sipil di Rakhine.

Kepala polisi Rakhine Kolonel Sein Lwin, mengatakan pada Rabu (2/11), bahwa pasukannya mulai merekrut anggota polda baru dari Buddha Rakhine dan non-Muslim lainnya di kota perbatasan Maungdaw.

"Tapi mereka haruslah seorang warga. Mereka harus melayani di tempat mereka sendiri", kata Sein Lwin,

Kandidat yang tidak memenuhi standar pencapaian pendidikan, atau kriteria seperti tinggi badan minimal, diperlukan untuk perekrutan sebagai polisi reguler dan akan diterima untuk program tersebut.

Min Aung, seorang menteri di parlemen Rakhine dan anggota Liga Nasional Aung San Suu Kyi, mengatakan¸ hanya warga yang memenuhi syarat untuk mendaftar dalam pelatihan polisi.

Sedangkan 1,1 juta Rohingya yang tinggal di Rakhine tidak memiliki kewarganegaraan karena ditolak oleh pemerintah.

Polisi juga akan mulai merekrut warga sipil di Sittwe, ibukota Rakhine, pekan depan.

Seorang pejabat polisi bernama Lin Lin Oo mengatakan, sekitar 100 rekrutan usia 18 hingga 35 akan menjalani program pelatihan yang dipercepat selama 16-minggu di Sittwe pada 7 November.

Pihak berwenang menyebut, rekrutan itu tidak akan membentuk "milisi rakyat" baru, seperti dalam konflik etnis lain di Myanmar.

Milisi lama tersebut (yang sering dituduh melakukan pelanggaran terhadap warga sipil) harus mengumpulkan dana mereka sendiri dan terus diawasi oleh tentara. Sedangkan rekrutan di Rakhine akan dibayar dan berada di bawah kendali polisi perbatasan.

Organisasi hak asasi manusia dan pemimpin Rohingya menilai langkah tersebut dapat menimbulkan ketegangan komunal di daerah yang baru saja mengalami kejadian tragis pada 2012 silam, ketika ratusan orang tewas dalam bentrokan antara Muslim dan etnis Buddha Rakhine.

Pemimpin politik etnis Rakhine mendesak pemerintah agar mempersenjatai umat Buddha lokal dengan alasan meningkatnya ancaman keamanan dari pejuang Rohingya.

"Etnis minoritas perlu melindungi diri dari tetangga yang memiliki permusuhan", kata Min Aung, mengacu pada etnis non-Muslim di wilayah tersebut.

Para ahli internasional yang bekerja untuk membangun kembali hubungan di Rakhine, dan kelompok-kelompok hak asasi manusia, mengatakan, mempersenjatai dan melatih lokal non-Muslim bisa membuat situasi di daerah tersebut menjadi buruk.

"Ini menyedihkan, pihak berwenang menganggap langkah ini sebagai bagian dari solusi keamanan", ungkap Matthew Smith, pendiri Hak Fortify, sebuah kelompok advokasi.

"Mempersenjatai umat Buddha lokal yang sepertinya menganggap Rohingya sebagai ancaman bagi mereka adalah resep untuk kejahatan kekejaman", ungkap Smith.

"Ini hanya memperpanas situasi dan kemungkinan akan mengarah pada kekerasan yang tidak perlu."

Seorang warga etnis Rakhine di desa Kyein Chaung, Maungdaw, mengatakan bahwa ia tertarik mendaftar dalam pelatihan, tetapi ragu bahwa rencana tersebut dapat menghilangkan kekhawatiran keamanan di masyarakatnya.

"Tidak mungkin (kami) hidup bersama dengan Muslim karena mereka menyerang dan merebut tanah kami sendiri hari demi hari", katanya.

Seorang pemimpin komunitas Rohingya di Maungdaw mengatakan, ia khawatir Muslim jadi sasaran serangan para rekrutan baru yang bersenjata.

"Jika mereka memiliki senjata di tangan mereka, kita tidak akan dapat bekerja sama seperti sebelumnya", katanya. (Al-Jazeera)