Jejak gas kimia Assad terungkap

Human Rights Watch menunjukkan sisa-sisa dari tabung gas kuning yang ditemukan di Masaken Hanano, Aleppo, setelah serangan klorin pada 18 November 2016. (Reuters)

Kelompok pemerhati HAM (Human Rights Watch/HRW) memberikan laporan mengenai penggunaan senjata kimia oleh rezim Suriah.

Mereka menduga, senjata kimia digunakan saat berupaya merebut kota Aleppo dari tangan oposisi, tahun lalu.

Menurut HRW, helikopter rezim menjatuhkan bom Klorin di area berpenduduk Allepo.

Hal itu dilakukan setidaknya dalam 8 kali kesempatan, antara 17 November hingga 13 Desember 2016.

"Beberapa serangan menggunakan lebih dari satu amunisi. Jumlah korban mencapai 9 jiwa, termasuk 4 anak-anak. Sekitar 200 orang mengalami luka-luka", ujar laporan.

Laporan dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan saksi mata dan analisis video/foto di media sosial.

HRW tidak menemukan adanya bukti keterlibatan Rusia dalam serangan senjata kimia.

Wakil Direktur Urusan Darurat HRW, Ole Solvang, mengatakan penggunaan senjata kimia di garis depan merupakan indikasi memang ada rencana dalam strategi.

"Ada indikasi kuat bahwa serangan klorin tersebut dikoordinasikan dengan strategi militer. Maka, perwira militer senior dan para komandan di Aleppo, tahu mengenai klorin yang digunakan", ujar Solvang.

PBB bersama lembaga pemerhati penggunaan senjata kimia (OPCW) mengadakan penyelidikan bersama dalam tim JIM (Joint Investigative Mission).

Laporan yang disampaikan awal minggu ini menambah daftar bukti pelanggaran.

Agustus tahun lalu, mereka menemukan bahwa rezim Assad menggunakan senjata kimia sebanyak 3 kali pada 2014-2015. ISIS diketahui menggunakan gas mustard dalam satu serangan.

Berdasarkan temuan JIM, Amerika Serikat bulan lalu memasukan 18 individu dalam "daftar hitam" terkait rencana pembunuhan massal.

Presiden Suriah Basyar al-Assad dan saudaranya memiliki kemungkinan menjadi tersangka dalam penggunaan senjata kimia, menurut Reuters Januari lalu.

Pihak rezim sendiri terus membantah berbagai laporan mengenai penggunaan gas terlarang. (Reuters)