Ketua Ombudsman: Kasus Ahok Berpotensi Memecah Belah NKRI

BLOKBERITA, JAKARTA -- Ketua Ombudsman RI, Amzulian Rifai menyatakan, perbuatan yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu bisa dikategorikan sebagai tindakan yang berpotensi memecah-belah bangsa sebagaimana disebutkan dalam pasal 83 ayat 1 UU 23/2014. Hal ini berkaitan dengan status Ahok yang belum diberhentikan, padahal sudah menjadi terdakwa.

" Sangat berpotensi (memecah-belah bangsa) dong, pendapat saya pribadi ya, bukan institusi, sebagai orang hukum," kata Amzulian usai menerima Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2).

Menurut Amzulian yang juga seorang profesor hukum tata negara dari Universitas Sriwijaya, alasan Ahok tidak diberhentikan tidak boleh hanya fokus pada ancaman lima tahun penjara. Jika melihat kualifikasi tindak pidana dalam pasal 83 ayat 1 UU  23/2014, tidak hanya ada terorisme, korupsi, tapi juga terdapat tindakan atau perbuatan yang berpotensi untuk memecah-belah NKRI. "Enggak perlu bicara lagi lima tahun. Ini kan cuma fokus pada lima tahunnya, kenapa tidak fokus pada terorisme dan segala macamnya itu," kata dia.

Bunyi pasal 83 ayat 1 UU 23/2014 adalah "Kepala daerah atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia".

Amzulian mengaku telah menerima sejumlah aduan masyarakat terkait masalah status hukum Ahok yang belum jelas. Laporan tersebut, ujar dia, diterima Ombudsman sehari sebelum pemungutan suara kemarin, Rabu (15/2). "Kemarin sudah masuk satu atau dua (laporan) terkait dengan itu (status Ahok), yang kami tak punya pilihan lain, kecuali menindaklanjuti," kata dia.

Menurut Amzulian, setelah menerima aduan itu, Ombudsman tentu tidak ingin langsung bicara kepada publik. Pihaknya menahan diri untuk berkomentar karena tidak ingin mengganggu ketenangan proses penyelenggaraan Pilkada selama ini.

"Kita berupaya untuk tidak memengaruhi opini, maka kita tidak bersuara. Kita klarifikasi sesuai kewenangan Ombudsman sehingga tidak masuk dalam wilayah politik, tapi kita adalah (untuk menggali) apakah ada maladministrasi di situ misalnya," ujar dia.

Amzulian mengatakan, Kemendagri perlu segera mengambil sikap dalam persoalan Ahok tersebut. "Ada ketegasan lah dari pemerintah terkait status itu. Apa sih sikap pastinya. Kita akan mengawasi dan berkoordinasi juga," kata dia. "Tapi sekali lagi, ini kan suatu perdebatan yang saya yakin tentu Mendagri juga secara bijaksana akan melihat masukan-masukan, aspek-aspek tak hanya yuridis, justru Bapak Mendagri hadir di sini sangat responsif," ujarnya.

Tanggapan Ahok

Ketika kasus dugaan penodaan agama Islam yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mulai bergulir, banyak anggapan bahwa ke-Bhinekaan kita sedang terancam. Pasalnya, negara ini seolah terbagi menjadi dua kubu, kubu yang tidak menganggap Ahok telah melakukan penodaan agama Islam dan kubu yang menuntut Ahok untuk dipenjara, umat muslim yang tidak tersinggung dan umat muslim yang mengamuk atas ucapan Ahok,

Karena menjadi tempat umum yang dapat dikunjungi siapapun dengan mudah, media internet pun lalu dibanjiri aktualisasi dari polaritas yang terjadi di negeri ini. Di Facebook, di Twitter, di Instagram, di YouTube bahkan di forum-forum, begitu banyak adu mulut, adu argumen hingga cacian makian tentang siapa yang benar dan siapa yang salah dalam penilaian terhadap Ahok beserta kasusnya.

Posisi di tengah ataupun netral pun seolah tidak lagi boleh ada. Siapapun yang diam dan tidak menyatakan Ahok penista agama akan dianggap merupakan pembela Ahok oleh kubu sebelah. Nalar seolah sudah tidak diperlukan lagi ketika suatu masalah berhubungan dengan isu agama, karena orang-orang yang menyatakan Ahok menistakan Islam menganggap mereka adalah kubu pembela agama Islam, sedangkan siapapun yang tidak sepaham dengan mereka, termasuk yang memilih diam, adalah kubu pembela penista Islam. Jalan berpikir yang sangat bodoh dan tidak seharusnya dimiliki oleh masyarakat yang hidup berbudaya di abad 21 ini.

Polaritas ini bahkan terasa lebih berbahaya dari apa yang terjadi pada Pilpres 2014 lalu karena dibangun atas dasar isu agama, isu yang sangat sensitif di negeri yang berdasarkan Pancasila ini. Ahok pun lalu dianggap adalah penyebabnya, oleh para pembela agama Islam dia dianggap pemecah belah bangsa ini. Tudingan pemecah belah ini pun bahkan tidak jarang digunakan oleh para lawan politik Ahok pada persaingan politik di Pilkada DKI 2017, terutama oleh kubu nomor 3 yang katanya sangat santun itu.

Siapa yang Sebenarnya Memecah Belah Bangsa Ini

Saya ingin mengatakan bahwa saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa Ahok telah memecah belah bangsa ini. Perbedaan pada hakekatnya adalah hal yang wajar pada suatu negara yang berdemokrasi, namun masalahnya untuk Indonesia adalah manusianya yang mungkin belum siap. Jika masyarakat Indonesia siap berdemokrasi, maka tidak akan ada fenomena hari ini. Tidak akan ada gelombang yang kuat yang menghantam seorang Ahok karena Ahok hanyalah mengatakan sepotong pendapat pribadinya. Pendapat yang juga dianggap benar oleh tidak sedikit manusia di negeri ini, karena memang mereka setuju bahwa ayat-ayat kitab suci tidak boleh dipakai untuk membodohi ataupun membohongi masyarakat untuk ambisi politik.

Menggunakan ayat-ayat suci dalam kampanye memang tidak melanggar hukum di negara ini, tapi menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah pembodohan atau pembohongan juga tidak benar untuk dianggap pelanggaran hukum. Karena anggapan pembohongan ini kan adalah sebuah pendapat dari seorang warga negara yang dilindungi oleh undang-undang. Yang Ahok anggap pembohongan kan kelakuan atau tindakan para politisi itu, bukan alat yang dipakai (bukan ayat sucinya). Yang dianggap membohongi kan para politisi itu. Jadi anggapan atau pendapat seperti ini mengapa harus disebut melanggar hukum?

Mungkin rakyat Indonesia yang belum sampai pada tingkat pemahaman untuk mengerti bahwa itu hanyalah sepotong pendapat yang biasa dalam hidup berdemokrasi. Tingkat pemahaman yang belum cukup ini lalu dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk memprovokasi masyarakat. Kasihan sekali mereka yang tidak paham tapi diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan tercela seperti memaki-maki dan meneriakkan pembunuhan. Provokator-provokator ini lah yang justru menurut saya telah memecah belah bangsa ini!

Kalau mengungkapkan pendapat lalu dianggap memecah belah bangsa, berarti Donald Trump dan Hillary Clinton adalah pemecah belah negara Amerika Serikat? Kan mereka membelah negara mereka menjadi dua suara juga karena pandangan dan pendapat mereka. Dimana logikanya?

Anda Rasis Jika Menganggap Ahok Tidak Boleh Mengatakan Itu

Lalu ada juga sebagian orang yang mengatakan Ahok tidak boleh mengutip, tidak boleh mengutarakan pendapatnya yang menganggap adanya pembohongan terhadap rakyat dengan menggunakan kitab suci karena dia adalah non-muslim. Orang-orang ini mengatakan hanya umat muslim yang boleh berkata demikian, seperti Habib Rizieq yang videonya sebenarnya sudah tersebar begitu luas itu. Kalau demikian, berarti anda rasis.

Ya, berarti Anda rasis karena Anda menganggap hanya orang-orang yang beragama sama yang boleh mengeluarkan pendapatnya seperti apa yang dilontarkan Ahok atau Habib Rizieq. Kalau Ahok tidak boleh dan Habib Rizieq boleh, berarti Anda membeda-bedakan penilaian terhadap orang lain berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Kalau bukan disebut rasis, apalagi kata yang tepat untuk menggambarkannya? Tolong cerahkan saya.

Jawaban Ahok terhadap Anggapan Telah Memecah Belah Bangsa

Alamak, tidak sadar ternyata saya telah menulis begitu panjang tapi belum membahas jawaban Ahok. Hahaha. Langsung saja ya. Berikut jawaban Ahok ketika diwawancarai Al-Jazeera TV dan ditanya pendapatnya mengenai anggapan bahwa dia telah memecah belah bangsa ini (dapat ditemukan disini).

Ahok terlihat enggan untuk mengomentari pemikiran yang mana yang benar, yang anti terhadap dirinya atau yang mendukung dirinya. Setelah memberikan contoh perjuangan seorang nabi yang awalnya pun dimusuhi, Ahok menganggap bahwa dia justru mempersatukan bangsa ini atas dasar bahwa para pendiri bangsa pun mencanangkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

 “ Sebetulnya itu pertanyaan yang tidak cocok, kalau saya hubungkan dengan itu nanti orang tersinggung lagi,” ujar Ahok mengawali jawabannya.

 “ Kita ini sudah mengorbankan banyak nyawa, banyak darah dari pahlawan-pahlawan kita (untuk) memasang fondasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI. Ketika saya ingin ini dibangun rumah Pancasila, saya bukan divide, saya justru mempersatukan (me-unite),” jawab Ahok dengan cerdas.

Menurut saya ini sungguh adalah jawaban yang cerdas dan mencerahkan. Memang pada dasarnya kita ini sudah lama hidup bersama-sama dengan lapisan masyarakat yang berasal dari berbagai suku, ras dan agama. Ahok justru sedang mempertontonkan bagaimana caranya memupuk nilai toleransi hidup beragama dan tidak menginginkan pemahaman syariat Islam justru sedang memperjuangkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Menurut saya tudingan bahwa Ahok dengan perkataannya telah mengusik perbedaan adalah tuduhan yang dibuat-buat dan mengada-ada untuk mencuci otak sebagian rakyat Indonesia yang memang belum fasih memahami makna sesungguhnya dari menerima perbedaan. Rumah Pancasila yang disebut Ahok ingin dia bangun tidak mengajarkan pemikiran-pemikiran yang menentang perbedaan pandangan dari penganut agama lain kepada manusia di dalamnya.

Hidup toleransi dalam perbedaan itu artinya dapat menerima pandangan penganut agama lain yang berbeda dengan pandangan kita, bukan memaksakan orang lain yang berbeda identitas agamanya untuk setuju dengan pemikiran dan pendapat kita. Jadi jika kita memang menghargai perbedaan, seharusnya kita dapat menerima jika ada pandangan penganut agama lain yang menganggap kelakuan politisi busuk tersebut adalah pembohongan, bukan memaksakan pandangan kita yang menganggap penggunaan ayat kitab suci untuk kampanye bukanlah pembohongan.

Justru orang yang mengorbankan dirinya untuk menjadi contoh agar masyarakat Indonesia tahu cara hidup bertoleransi antar umat beragama yang benar adalah pemersatu bangsa ini, karena ia sedang memperjuangkan amanat Pancasila yang menginginkan semua rakyat Indonesia hidup rukun dalam perbedaan dan mendapatkan perlakuan adil tanpa memperdulikan unsur SARA.

Untuk orang-orang yang masih menganggap Ahok adalah pemecah belah bangsa, apakah sekarang sudah paham? Kalau masih belum, ya sudahlah, saya menyerah deh. Karena jari-jari saya sekarang telah lelah untuk mencoba mencerdaskan kehidupan orang-orang yang tidak mengerti makna perbedaan dan belum siap untuk menerima perubahan.

Dari sebatang pohon yang ingin berdiri kokoh dan tegar di tengah badai dan topan………
Penulis :   Power Aryanto Famili / Sumber : Seword.com


 (bazz/rol/seword)