Ahok pernah berwacana apartemen pelacuran dan sertifikasi pelacur, namun tenggelam karena tingginya penolakan |
Cawagub pemenang pilkada DKI Jakarta 2017, Sandiaga Uno, telah merencanakan pelepasan saham Pemprov di perusahaan bir.
Meski baru rencana sebelum menjabat, Uno sudah dipuji karenanya.
Bahkan, pernyataannya diperbandingkan dengan sikap Gubernur Basuki alias Ahok baik soal saham miras atau penjualannya.
Seperti yang pernah diungkapkan dalam visinya, Uno ingin membuat hiburan yang lebih "sehat", sesuai nilai agama bagi warga Jakarta.
Ia berpendapat, konsep hiburan malam saat ini rawan penyalahgunaan narkoba, alkohol, dan prostitusi.
Sebaliknya, wacana yang dilempar Ahok selama menjabat terkait masalah kemaksiatan justru kerap membuat panas kuping kalangan relijius.
Misalnya, Ahok berpandangan bir beralkohol bukanlah minuman keras, karena menurutnya kadar alkohol yang terkandung di dalam bir hanya 5 persen.
Pernyataan ini dilontarkan Ahok menanggapi kritikan dari anggota DPD RI Fahira Idris saat ramainya isu ihwal diperbolehkannya bir dijual di minimarket, tahun lalu.
Dengan bahasanya yang "khas", Ahok berkata di Balai Kota: "Bir itu gue kasih tahu ke lo, itu di bawah 5 persen, bukan miras. Jadi kita bisa berdebat soal bir", dikutip dari Kompas, Rabu (25/5/2016).
Filosofi Ahok jelaslah berbeda dengan filosofi kalangan Islamis yang ingin perkara maksiat diusahakan dieliminir, sehingga berkurang pula masalah sosial dan penghamburan uang.
Sedangkan Ahok, dalam berbagai pernyataannya, menganggap maksiat akan terus ada.
Sehingga salah satu cara penanganan menurut Ahok, pemerintah bisa "mewadahi" dengan maksud adanya keuntungan dan kontrol atasnya.
Inilah alasan Ahok menolak melepas saham Pemprov di PT Delta Djakarta yang berbisnis bir. Perusahaan itu masih menguntungkan secara finansial.
"Kami punya saham, lanjut saja. Bir salahnya di mana sih? Ada enggak orang mati karena minum bir? Orang mati kan karena minum oplosan cap topi miring-lah, atau minum spiritus campur air kelapa. Saya kasih tahu, kalau kamu susah kencing, disuruh minum bir, lho", klaimnya, Senin (6/4/2015).
Agar meyakinkan orang, ia pun menebar kekhawatiran: "Jika bir dilarang, maka akan membuat aktivitas ilegal dan akan ada orang meninggal".
Dengan filosofi seperti ini, tentu Ahok ingin mengambil kebijakan "ramah" bagi penenggak bir. Seperti penjualannya diizinkan di minimarket.
11-12 dengan bir, Ahok memberikan "argumen" serupa terkait masalah prostitusi di Ibukota.
Tak tanggung-tanggung, wacana yang digulirkannya adalah apartemen pelacuran dan pelacur yang disertifikasi.
"Idenya itu dari Pak Gubernur adalah, tower (di apartemen) mana yang dilegalkan di situ untuk urusan itu (prostitusi). Mengenai lokasinya belum kita bahas. Kalau seperti itu, ini nanti dilihat kira-kira masukan dari masyarakat, sosial ekonominya, seperti apa", ujar Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, 2015 lalu.
Menurut Saefullah, Ahok menggulirkan ide ini sebagai respons maraknya praktik prostitusi di beberapa apartemen dan kos-kosan.
Untuk 'mengatur' prostitusi ilegal itu, Ahok melemparkan wacana apartemen pelacuran yang diatur pemda.
"Agar prostitusi tidak menyebar ke mana-mana. Istilahnya Pak Gubernur, ini kan bagian dari keberadaan masyarakat. Beliau bilang ini (prostitusi) sampah. Sepanjang manusia ada, perbuatan menyimpang itu pasti ada", tutur Saefullah.
Jadi, dalam penalaran seperti Ahok, pelacuran pun akan selalu ada, sebagaimana miras. Maka daripada "ngumpet-ngumpet, gimana kalau dilegalkan", sehingga ada kontrol pemerintah.
Penalarannya mudahnya begini: Akan ada pembuangan air kotor dari tiap rumah, maka diperlukan sistem got yang menampung itu semua agar air busuk tak mengalir ke mana-mana
Ahok bahkan pernah menuduh pejabat penolak legalisasi sebagai "munafik". Yang menjegal tapi main pelacur di belakang.
"Enggak bakalan bisa deh, selama bangsa banyak oknum pejabat kayak munafik begitu. Kita kan demennya begitu. Tampang suci-suci, suruh nyanyi tuh lagu Kupu-Kupu Malam, Titiek Puspa", klaim Ahok, dikutip dari Liputan6, Selasa (28/4/2015).
Wacana pelegalan pelacuran akhirnya tenggelam karena tingginya penolakan masyarakat. Selain itu, Ibukota juga tak punya dasar hukum sertifikasi "bisnis perlendiran".
Ahok beralasan, pelegalan itu hanya wacana agar memancing respon warga.
Ia juga mengklaim, jika pelacur terdata dan terkontrol pemda. Maka bisa pula dilakukan pembinaan, termasuk rohani.
Sementara pengkritik menilai Ahok hanya melempar isu kontroversial untuk mengalihkan sorotan pada kinerja buruknya saat itu.
Bertentangan dengan Islam
Penalaran ala Ahok tentang pelegalan hal-hal maksiat dengan alasan "kontrol", tentu bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam tidak mentolerir pelegalan maksiat atau dosa lain. Ini bahkan bisa lebih buruk dari perbuatan maksiatnya sendiri.
Jika dikatakan ingin lebih terkontrol, maka banyak hal lain selain miras dan pelacuran yang bisa diterapkan cara serupa.
Misalnya pelegalan Ganja, agar diatur usia pemakai dan intensitasnya. Pelegalan kelompok preman menjadi "kontraktor keamanan" tersertifikasi.
Pelegalan parkir ilegal. Pelegalan "polisi cepek" di perempatan kompleks.
Pelegalan anak jalan, pengamen dan pengemis tersertifikasi yang membayar setoran ke pemda serta diatur jadwalnya.
Jika ditemui apartemen digunakan sebagai sarang pelacuran, lalu Ahok mewacanakan apartemen pelacur. Maka saat di suatu perguruan tinggi marak "Ayam kampus", semestinya diterapkan kampus pelacuran pula.
Di sana Ayam kampus diatur agar bisa kuliah dengan tenang, agar meraih nilai baik serta lulus tepat waktu. Termasuk pemantauan penyebaran penyakit menular seksual.
Sayangnya, tidak akan orang waras yang setuju dengan penalaran seperti ini..
-------------------------------
Ditulis oleh: Abu Abdullah