1. Pendahuluan
Saya akan menulis apa yang saya tahu & yang saya percaya. Saya selalu menulis apa yang saya lihat. Saya selalu menulis apa yang dialami oleh bangsaku. Saya selalu bersuara bagi bangsaku yang tak bersuara, dan membisu. Saya selalu hadir dengan tulisan-tulisan untuk bangsaku yang teraniaya dan tertindas dan terabaikan. Apapun kata orang, terutama orang Melayu Indonesia yang menjajah rakyat dan bangsaku. Saya sudah sekolah dan saya sudah tahu siapa itu bangsa Melayu Indonesia sesunggunhnya. Ia merampok kemerdekaan dan kedaulatan kami dan menduduki dan menjajah bangsa kami selama ini.Bangsa kolonial memang tidak pernah mengakui ia adalah penjajah. Pemahaman ini terbukti dengan wajah kolonial Indonesia yang menduduki bangsa West Papua selama ini. Ia mengaku penyelamat dan membawa perubahan dan kemajuan. Ia mengaku membangun bangsa West Papua. Pernyataan ini paradoks dengan fakta di lapangan yang terlihat wajah-wajah perampok, pencuri dan pembunuh dan watak kriminal. Pembunuh bangsa kami disebut pahlawan dan dinaikan pangkat dan diberikan jabatan.
Dr. Socratez S.Yoman. |
Pater Dr. Neles Tebay dalam kata pengantar buku penulis yang berjudul: “Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” dengan tepat mengatakan: “Konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan dimana seorang penulis menggoreskan buah penanya turut mempengaruhi isi, nada, cara penyajian dan sasaran dari suatu karya. Maka, untuk memahami secara lebih baik isi dari suatu buku, para pembaca perlu mendalami konteks kehidupan masyarakat di mana penulis hidup” (Yoman: 2010).
2. Bangsa Merdeka dan Berdaulat
Untuk menjelaskan topik ini penulis membawa para pembaca untuk melihat dan mengerti bahwa bangsa West Papua ialah bangsa yang merdeka dan berdaulat sebelum bangsa Indonesia merampok, menduduki dan menjajah bangsa West Papua.Penulis berangkat dari kehidupan bangsa West Papua dari suku Lani dimana penulis berasal. Kata “Lani” mempunyai tiga pengertian. Pertama, Lani artinya pergi. Kedua, Lani artinya orang yang tidak mempunyai kerabat. Sedangkan arti kata “Lani” yang ketiga ialah sebagai berikut:
“Orang-orang independent, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki hidup, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas,mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka selalu hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya” (Sumber: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri: Yoman: 2010:hal. 92).
Dari kemerdekaan dan kedaulatan ini, pertanyaan yang perlu dijawab oleh kita semua, terutama kolonial Indonesia ialah sebagai berikut:
2.1. Siapa yang pernah mengajar bangsa West Papua dalam suku Lani untuk membuat honai dengan bahan-bahan yang berkualitas dan bertahan sampai 50 tahun?
2.2. Siapa yang mengajar bangsa West Papua dalam suku Lani membuat pagar dengan bahan-bahan yang berkualitas dan bertahan bertahun-tahun?
2.3. Siapa yang mengajar membuat kebun dengan teratur dan menanam umbi-umbi yang bermutu tinggi?
2.4. Ahli atau konsultan siapa yang mengajar untuk membangun jembatan gantung untuk sungai-sungai besar dengan bahan-bahan berkualitas? Bagaimana caranya mereka menyebrangi sungai itu dalam memuat material?
2.5. Siapa yang melakukan penelitian untuk bahan-bahan berkualitas untuk membuat noken, membuat panah,membuat gelang dan kerajinan lainnya?
3. Pengakuan Orang Asing yang Beriman, Bernurani dan Bermoral.
Dr. George Junus Aditjondro mengakui keunggulan bangsa West Papua dalam bukunya: Cahaya Bintang Kejora:“Lihat saja betapa populernya penggambaran tentang orang Dani ‘sebagai orang-orang yang nyaris telanjang yang masih hidup di zaman batu’ tanpa menyadari bahwa para petani di Lembah Baliem misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam” (2000: hal. 50).
Ia melanjutkan: “Sama halnya seperti koteka dan noken, honai atau rumah bundar suku-suku pegunungan Jayawijaya Barat merupakan hasil daya cipta yang tinggi dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, dengan teknologi yang sangat sederhana. Tanpa tradisi tertulis dan tanpa rumusan matematika yang rumit, suku-suku pegunungan itu mampu membuat lingkaran yang hampir sempurna, dan mampu membangun jembatan kayu dan rotan melintasi jurang-jurang yang dalam, tanpa menggunakan sebatang paku pun. Teknik sipil asli Pegunungan Tengah ini pantas didokumentasikan oleh para ahli lulusan perguruan tinggi, sekaligus mengabadikan mitologi dan pandangan dunia yang ada dibalik rumah bundar itu” (hal. 85).
Senada dengan George, Pastor Frans Lieshout OFM mengakuinya.
“Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Baliem yang begitu manusiawi. …Mendengar pengalamanorang-orang luar yang pernah bertemu dengan masyarakat Dani di Pegunungan Tengah, maka ternyata mereka semua menjadi heran dan kagum. Heran, karena masyarakat Pegunungan Tengah, yang hidup teritolasi dan terkurung di tengah-tengah gunung-gunung tinggi dan yang sebelumnya dianggap primitif di segala segi kehidupannya, yang lagi dikhawatirkan jahat itu, ternyata orang-orang yang ramah, bersahabat dan sopan. Kagum, karena orang-orang Dani itu, meskipun…masih hidup di zaman batu namun mempunyai peradaban dan kebudayaan tinggi, mempunyai ketampilan untuk bertani dan menggarap tanah secara intensif, memiliki teknik tinggi untuk membangun sistim irigasi, jembatan gantung, dan pagar-pagar dengan tekun dan teliti, membangun dan memelihara rumah-rumah mereka dengan rapi dan bersih serta situasi dengan iklim dan alam hidup mereka” (Sumber: Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim: 2008: hal. 11).
(Baca ini: Saudara-Saudara Sebangsa dan se-Tanah Air adalah Penyesatan Logika Sehat)
George menegaskan: “Kekayaan dan kedinamisan itu kelihatannya bagi para penguasa rezim militeris korup Orba dianggap ancaman. Sehingga kekayaan kultural yang memperkuat identitas kepapuan sengaja dimatikan an warga pendukungnya diintimidasi dan diteror agar ia meninggalkan jati dirinya. …Paradigma dan kebijakan yang mengintimidasi dan menteror rakyat Papua itu sekaligus merupakan realitas pelanggaran hak asasi manusia yang dahsyat.” (hal.107).
Ia menambahkan, “Pada saat penjajah tidak bisa lagi meniadakan penduduk jajahannya secara fisik, dia kemudian mengeliminir mereka secara kultural, dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau dengan dalih bahwa kebudayaan mereka lebih rendah. Jadi mitos tentang koteka, Zaman Batu dan lain-lain itu, memang sengaja dipupuk karena mendukung cara berpikir penguasa.” (hal. 197).
Watak kolonialisme Indonesia digambarkan dengan tepat oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia (hal. 255). …kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam” (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: hal. 257).
Dr. Veronika Kusumaryati menulis Indonesia penjajah di West Papua dalam karyanya: “Ethnography of a Colonial Present: History, Experience, and Political Consciousness in West Papua” (Harvard University, USA, 2018).
IWP, 241018
Posted by: Admin
Copyright ©Papua News "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com