Orang Asli Papua Takut di Tanahnya Sendiri, Orang Migran Merasa Aman Aaja

Orang Asli Papua Takut di Tanahnya Sendiri, Orang Migran Merasa Aman Aaja
Aksi demonstrasi masyarakat asli Merauke pada bulan September lalu.
Oleh : Theo van den Broek

MELALUI suatu survey (Nov 2017) oleh LIPI bersama Change.org suatu perbedaan persepsi ditonjolkan yang perlu mengajak kita semua untuk berefleksi. Yakni: dalam survey itu lebih dari 60% “komunitas non-asli” di Papua menilai situasi di Papua dewasa ini “baik” atau “sangat baik”; sedangkan lebih dari 60% dari “komunitas asli” menilai situasi di Papua “memprihatinkan” sampai “sangat memprihatinkan”. Artinya, situasi dinilai aman saja oleh mayoritas migran karena kehadiran hebat pihak keamanan, sedangkan dinilai mengancam oleh mayoritas penduduk asli karena merekalah yang mengalami pelanggaran hak-hak asasinya (1). Kesimpulan survey ini patut kita pakai untuk melihat sejauh mana situasi ironis ini dapat kita perbaiki bersama.

Terlepas dari perasaan mayoritas migran bahwa dilindungi pihak keamanan, dapat juga mengandaikan bahwa posisi para migran makin hari makin kuat secara ekonomis, sosial maupun politik. Sejak 2010 mereka sudah menjadi mayoritas penduduk di Papua,terutama di wilayah perkotaan. Sementara waktu banyak sudah bertahun-tahun hidup dan berkarya di Papua dan berhasil memperoleh suatu kedudukan ekonomis yang baik dan terjamin. Juga di kalangan para penentu kebijakan politik di Papua (lembaga serta aparat pemerintahan/keamanan) para migran sangat turut menentukan arahnya. Secara intern etnis mereka juga masih sering terorganisir dalam ‘peguyubang bangsanya’ yang memberikan suatu ‘home tambahan/rasa betah’ ditengah-tengah keragaman etnis di Papua.

Sementara waktu komunitas asli Papua merasa terancam eksistensinya dan sering mengalami suatu suasana hidup harian yang kurang aman. Daftar konkrit kejadian2 yang dirumuskan TAPOL bersama ETAN dalam pernyataannya kepada PBB (Oct 2018) (2) membantu kita untuk sadar mengenai keadaan de facto yang melatarbelakangi perasaan takut penduduk asli ini. Kami kutip beberapa data yang dicatat untuk bulan September 2018 saja: 221 orang ditangkap sewenang-wenangnya; 5 orang dianiayai oleh aparat keamanan, termasuk 1 orang dibunuh selama dalam tahanan polisi (3). Bukan saja orang Papua didiskriminasi di tahan leluhurnya, namun juga di provinsi-provinsi lainnya di Indonesia: kejadian serangan dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Semarang, Yogya (Juli-Aug 2018); Malang, 30 Sept; Makasar 13 Okt; Bandung 14 Oktober 2018. Tambah lagi berita-berita baru mengenai operasi militer di wilayah pegunungan yang sudah menuntut 7 korban termasuk korban sipil yang sama sekali tidak bersalah.

Wajarlah muncul suara yang memohon suatu gencatan senjata/gencatan kekerasan (4) (antara pemerintah yang diwakili TNI/Polri dengan kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional papua Barat) karena kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan dan mimpi “Papua Tanah Damai” menjadi mimpi melulu. Seruan ini yang mengajak kita kembali pada jalan yang memungkinkan suatu solusi secara damai dan bermartabat, sangat perlu didengar segala pihak yang mencintai damai dan yang secara tulus ingin turut menciptakan suatu dunia yang ramah manusia.

Walau seruan ini tidak baru karena ‘gerakan dialog’ diprakarsai sudah selama sekitar 10 tahun namun ternyata masih kurang berhasil merangkul segala pihak yang berkepentingan. Mengingat kemacetan gerakan dialog ini dan mengingat hasil survey yang kami sebutkan diatas, kami juga sadar bahwa ‘para migran’ sampai saat ini masih kurang berperan aktif dalam mencari suatu solusi damai di Papua. Mereka lebih menjadi penonton sambil menyiapkan diri untuk menjaga kepentingannya sendiri. Hal demikian adalah akibat dari kenyataan bahwa mereka hanya mendengar isyu-isyu yang menghasilkan suatu penilaian negatif mereka terhadap masyarakat asli Papua. Kalau hanya mendengar isyu atau membaca berita-berita di harian yang sering kurang lengkap dan berat sebelah, bisa jadi saja bahwa latarbelakang dan isi permasalahan di Papua tidak dapat dipahami dengan tepat, sampai ‘orang Papua’ hanya dapat dinilai sebagai ‘pengganggu keamanan’, atau malahan sebagai ‘kelompok kriminal bersenjata’saja. Kalau memang demikian stigmatisasinya, suatu pemahaman mengenai latarbelakang serta sejarah permasalahannya di Papua yang sebenarnya jarang ditawarkan pada para migran. Menjadi sulit juga bagi para migran untuk dimotivasi berperan konstruktif/ aktif dalam mencari suatu jalan keluar yang damai dan bermartabat.

Menurut penilaian kami, peranan aktif para migran dalam menemukan suatu solusi secara konstruktif sangat penting dan malahan bisa menjadi kunci dalam keberhasilan gerakan/ pendekatan berdialog yang sangat kita butuhkan. Orang asli Papua sangat membutuhkan pemahaman para migran serta bantuannya untuk mematahkan rantai kekerasan dewasa ini dan untuk menyelesaikan masalah di Papua secara damai. Kebersamaan dalam perjuangan dialog ini akan menjadi dasar masa depan kita bersama.

Mengingat kepentingan peranan aktif para migran dalam permasalahan di Papua dan mengingat bahwa motivasi untuk terlibat hanya dapat didasarkan pada pemahaman masalahnya secara benar kami menyarankan supaya:

[1] segala pihak yang dapat membantu menerangkan akar permasalahan di Papua secara benar menjadi lebih aktif menyalurkan informasi ini kepada para migran; pendek kata perlu penyuluhan yang tepat dan perlu bahan penyuluhan yang jelas sekaligus sederhana.

[2] supaya para migran bersedia untuk tidak berpegang pada stigma-stigma negatif yang lazimnya dipopularisasikan dan bersedia mencari jalan bertemu dengan orang Papua yang sebenarnya.

[3] supaya pemerintah sipil Papua menyelenggarakan serangkaian lokakarya untuk menginformasikan para warga migran mengenai latarbelaknag permasalahan Papua dengan melibatkan masyarakat Papua sebagai pembicara utama untuk mengisahkan sejarahnya.

[4] supaya kebebasan ekspresi pendapat diindahkan segala pihak sesuai dengan ketentuan dalam UUD Republik Indonesia sambil menghentikan segala bentuk intimidasi, represi dan kekerasan. (*)

Theo van den Broek adalah pengamat sosial politik Papua, Tinggal di Jayapura.

Catatan Kaki :
(1) Details of the internet survey by LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) in November 2017. (see JUBI, 18 Dec 2017 and also the LIPI website) and www.satuharapan.com/read-detail/read/keinginan- merdeka-rakyat-papua-terungkap -dalam-survei-lipi
(2) Pernyataan gabungan TAPOL dan ETAN kepada Sidang Umum PBB 73, yang berjudul: “Correcting the record on human rights violations in West Papua and the 1969 un resolution regarding ‘Act of Fee Choice’”,

London, New York, 2 October 2018 [sebagai tanggapan atas a.l. pesan Jusuf Kalla pada Sidang PBB]

(3) Pernyatan TAPOL-ETAN, hlm 1. Dapat membaca juga’ Infografis’ dalam Koran JUBI, tgl 15-16 Okt 2018, hlm. 11, yang berjudul “Pelanggaran HAM di Papua 201,” Triwulan ke-3” (info berdasarkan data International Coalition for Papua)
(4) Bdk catatan Koran JUBI, tgl 12-13 Oct 2018, hlm. 2.


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com