Sejumlah penduduk dari Nafri, Kayu Batu dan beberapa wilayah di dekat perbatasan RI-PNG saat itu mulai hijrah menuju Sentani dan bermukim di pinggiran-pinggiran danau. Wilayah yang tadinya kosong, tak ada penghuni, mulai terlihat ada kehidupan, itulah arti dari Phuyakha.
Kini di pinggiran Danau Sentani telah didiami lebih dari 20 kampung yang mungkin tidak terlalu asing di telinga kita seperti kampung Netar, Ifale, Hobong, Babrongko, Dondai, Yobhe, Yahim, Putali, Yoboi, Yakonde, Doyo Lama, hingga ke Sosiri.
Lalu kenapa justru Sentani, yang sebutannya lebih popular ketimbang Phuyakha sebutan aslinya?
Dituliskan dalam Buletin Dafonsoro yang terbit di sekitar tahun 1960-an, asal muasal kata Sentani mulai perkenalkan pada jaman kolonial Belanda. Masyarakat Sentani terkenal mengandalkan hasil perkebunan dan pertaniannya sebagai makanan pokok, atau orang-orang yang hidup dari hasil bertani (asal kata “tani”).Dengan kondisi tanah yang subur di bawah kaki Gunung Cycloop, Belanda ketika itu melihat Sentani sebagai wilayah yang berpotensi untuk dijadikan pusat pertanian. Rencana ini dimaksudkan agar Sentani dapat memasok buah-buahan dan sayur-sayuran menuju Holandia (kini Jayapura). Itulah kenapa Sentani sebenarnya merupakan singkatan dari Sentral Pertanian.
Dulu Belanda juga pernah merencanakan penanaman kelapa, kopi, dan coklat dalam skala yang besar di Sentani, namun karena bencana banjir yang kerap melanda akhirnya hasil pertanian tersebut tidak maksimal. Jika ke Sentani, hasil-hasil pertanian ini masih bisa kita jumpai di beberapa tempat, tentunya dengan jumlah yang tidak terlalu banyak karena pertumbuhan alih fungsi lahan yang sangat cepat oleh pemerintah daerah.
Copyright ©Harian Papua "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com