AJI Jayapura: Pemerintah Takut Sama Jurnalis Asing, Ada yang Disembunyikan?

Pegiat Kebebasan Pers Papua Victor Mambor pada diskusi kebebasan pers Papua di sela World Press Freedom Day – WPFD 2017 Jakarta – Dok. Jubi
Jayapura, -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura mendorong akses jurnalis asing dibuka ke Papua karena banyak sisi yang harus disampaikan kepada publik.
“Papua itu punya kekayaan alam yang baik. Papua juga ingin maju,” ujar Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw melalui telepon selularnya kepada Jubi, Jumat (24/5/19) malam.

Menurut Ireeuw, asal mempunyai standar peliputan yang benar, jurnalis asing boleh melakukan peliputan di Papua, sebab hal itu dapat menjadi koreksi bagi pemerintah Indonesia sekaligus memperkenalkan Papua ke dunia internasional.

“Mau baik dan tidaknya itu kan relatif. Tergantung dari hasil liputannya. Jangan kita keburu curiga, merasa ketakutan. Kalau pemerintah takut berarti ada yang disembunyikan,” tutur Ireeuw.

Dikatakan Ireeuw, jurnalis asing yang datang meliput ke Papua dari 2015 sampai 2017 sejumlah 40 orang yang mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia.

“Yang AJI catat sejumlah 13 orang. Mereka ini ada yang membuat film dokumenter dan mengangkat isu kesehatan, tapi kalau kasus politik mereka lebih berhati-hati,” jelas Ireeuw.

Dijelaskannya, jika langkah pembatasan dilakukan terhadap jurnalis asing ke Papua, pemerintah Indonesia seakan menyembunyikan sesuatu sehingga Papua dianggap sebagai daerah yang tertutup.

“Pers itu mempunyai kode etik dalam peliputan, dan melaporkan sesuai fakta yang ditemui. Pemerintah harusnya paham, apalagi itu disampaikan Presiden, itu ditindaklanjuti oleh aparat yang berwenang, kalau kebebasan peliputan di mana saja itu harus diberikan kepada jurnalis asing. Kita jangan selalu melihat dari sisi negatif yang membuat ketakutan pemerintah. Jadi akses jurnalis asing ke Papua itu harus sama seperti dia ke mana saja di Indonesia,” jelas Ireeuw.

Terkait Clear House yang disampaikan oleh Kantor Imigrasi Jayapura, dikatakan Ireeuw, ada 18 unit kerja di 12 Kementerian, termaksud lembaga kepolisian, yang melakukan seleksi terutama izin untuk melakukan peliputan seperti di wilayah Papua.

“Itu yang ditetapkan pemerintah, tapi dua tahun lalu Presiden Jokowi pernah mengungkapkan kalau akses jurnalis asing ke Papua boleh dibuka buat siapa saja boleh datang,” kata Ireeuw.

Namun clear house bak wacana. Walaupun sudah mengantongi izin tersebut dari imigrasi, jurnalis asing tetap saja terkekang jika meliput di Papua, karena terlalu diawasi setiap gerak-geriknya.

“Ini membuat jurnalis asing tidak maksimal melakukan tugas jurnalistiknya dengan baik. AJI Jayapura melihat pemerintah Indonesia merasa takut terhadap peliputan media asing tentang kondisi Papua, sebab bila memberitakan sesuatu tentang kondisi Papua, harus sesuai keinginan pemerintah, sehingga betul-betul diperketat,” ungkap Ireeuw.

Dicontohkannya, salah seorang jurnalis asing yang dikeluarkan saat meliput di Papua pada Februari 2018, yaitu Kepala Biro BBC Indonesia, Rebecca asal Australia.

Rebecca, ditugaskan ke Kabupaten Asmat, Papua untuk meliput gizi buruk. Ketika ia sedang mengambil gambar, oknum TNI tiba-tiba memeriksanya.

“Laporan-laporannya dirasa menjadi sebuah ancaman karena menemukan makanan mi instan, dan melihat beberapa anggota TNI yang membawa burung sehingga membuat TNI tidak suka, dengan berbagai alasan sehingga dikeluarkan menggunakan pasal karet untuk mengusir dia keluar karena cuitannya di media sosialnya,” ungkap Ireeuw.

Pernyataan ini dilontarkan Lucky Ireeuw yang dikonfirmasi Jubi terkait tanggapan Kantor Imigrasi Kanwil Kemenkum HAM Papua. Instansi ini kembali menegaskan larangan masuk bagi jurnalis asing ke bumi cenderawasih.

Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kemenkum HAM Papua, Hermansyah Siregar mengatakan, jurnalis asing tak diizinkan masuk ke Papua sebelum mengantongi dokumen Clear House yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

“Setelah memiliki CH barulah diterbitkan visa bagi jurnalis asing, kalau belum ada CH maka belum bisa diterbitkan visanya,” ujar Siregar di Jayapura, Kamis (23/5/2019).

Padahal sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan kebebasan kepada para pewarta asing untuk melakukan peliputan ke Papua. Penyataan itu disampaikan Jokowi di lokasi Panen Raya Kampung Wapeko Kecamatan Hurik, Kabupaten Merauke, Minggu (10/5/2015).

“Mulai hari ini wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua sama seperti di wilayah lainnya di Indonesia,” katanya.

Dalam World Prees Freedom Day 2017 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (5/3/17), Presiden Joko Widodo dalam sambutannya juga menyatakan hal serupa.

Menurutnya, kebebasan pers saat ini menghadapi tantangan yang paling besar dalam perjalanannya.

“Berita hoaks atau berita palsu, ujaran kebencian dan pertumbuhan populasi menjadi tantangan bagi para jurnalis di seluruh dunia maka dari itu maraknya berita hoax harus ditanggapi lebih serius. Pers dituntut melawan maraknya hoaks di media sosial,” ujarnya.

Namun kebijakan ini ternyata tak senada dengan kenyataan di lapangan. Papua seakan tertutup bagi jurnalis asing, dan memerlukan pengawasan ketat serta izin yang rumit. Padahal jurnalis baik warga negara Indonesia dan asing, memiliki kewajiban melaporkan kepada publik, atas suatu peristiwa, dan ketimpangan yang ada di daerah di mana ia meliput. (*)


Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com