Membaca keputusan ketua umum Partai Demokrat yang memberhentikan Ruhut Sitompul sebagai juru bicara Partai Demokrat (Bukan pemecatan, tapi Ruhut digeser menjadi Ketua DPP Departemen Polhukam) seolah mengingatkan tentang perjalanan kisah pemecatan Fahri Hamzah.
Antara Ruhut Sitompul dan Fahri Hamzah, sama sama seorang politisi dan sama sama sebagai seorang kader dari sebuah partai, apakah ada yang membedakan diantara keduanya?
Seorang kader dan seorang politisi dari sebuah partai politik, sebagai partai politik tentu berbicara aksi dan reaksi dalam demokrasi, dalam seni berdemokrasi unsur melihat dan mendengarkan adalah kunci.
Bagaimana sosok sang ketua umum Partai seperti Susilo Bambang Yudhoyono bersikap memutuskan sebuah keputusan terkait posisi seorang kader didalam partainya, menyelesaikan tanpa menimbulkan riak masalah kedepannya; mampu memberi sesuai porsinya.
Ini soal bagaimana sebuah partai politik belajar mengenai seni berdemokrasi; menghargai nilai dari keberadaan seorang sosok.
Karena partai politik bisa berdiri karena keberadaan sosok orang perorang dengan kapasitas dan kualitasnya masing masing, termasuk keberadaan sosok seperti Ruhut Sitompul ataupun sosok seperti Fahri Hamzah.
Tinggal bagaimana sang pemimpin partai berani bersikap menegakkan demokrasi "sesuai tempat dan porsinya"; lantas dimana kata ‘sesuai’ tersebut berada? Sesuai itu dengan "melihat" dan "mendengarkan".
Melihat tentang kontribusi dan peran sang kader dimata publik pemilih, karena dalam demokrasi hegemoni kekuatan kekuasaan tidaklah ada, yang ada adalah kemampuan untuk mengatur dan mengayomi kekuatan bersama dalam partai, menghargai bagian partai yang mampu menghasilkan suara bagi partai itu sendiri.
Mementingkan hegemoni kekuatan kekuasaan dalam sebuah partai politik bisa menjadi ‘blunder’ sebuah rezim kekuasaan; berkuasa dengan tangan besi tanpa memikirkan konsuekensi efek demokrasi dari kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan.
Dalam demokrasi ada aksi dan reaksi, tidak ada yang namanya sebuah instruksi dan perintah terpusat; karena ujungnya tak akan beda dengan sebuah rezim otoriter.
Sebuah partai politik adalah sebuah kedinamisasi pemikiran, dimana sebuah kritik dan perlawanan akan sebuah keputusan adalah hal yang sangat wajar dan pasti akan timbul, sebagai bentuk aksi dan reaksi dan dalam sebuah bingkai berdemokrasi.
Demokrasi boleh dikatakan produk bangsa barat, teapi harus diakui, mau tidak mau sebuah partai politik adalah hasil produk demokrasi itu sendiri.
Dimana satu sosok orang per orang didalam aktivitasnya dalam partai politik dilindungi undang undang dan menjadi bagian hak asasi manusia secara universal.
Lantas, apa yang menjadi ‘pembeda’ kondisi Ruhut Sitompul dan Fahri Hamzah?
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sangat bisa mengambil sikap seperti elite PKS, dengan mengambil keputusan pemecatan kepada sosok Ruhut Sitompul.
Tapi mengapa, SBY tidak mengambil keputusan seperti elite di PKS?
Satu alasan, karena SBY melihat dan mendengarkan; sebuah kunci dalam berdemokrasi di sebuah partai politik.
Hal inilah yang dihilangkan di elite PKS, kunci untuk melihat dan mendengarkan hingga pada akhirnya menghargai. Seperti yang ditulis di atas sebelumnya, seni berdemokrasi dengan partai politik sebagai jalan meraih suara kekuasaan.
SBY sangat bisa sama bahkan harusnya lebih dengan keputusan para elite di PKS, yaitu memutuskan pemecatan, karena di satu sisi ‘kewenangan’ sang ketua umum partai demokrat tersebut memiliki hak yang lebih besar dan kuat; tetapi mengapa SBY tidak melakukannya?
Karena SBY adalah seorang Negarawan yang mengambil keputusan dengan melihat demi kepentingan bangsa dan negara; karena SBY sadar Partai Demokrat adalah termasuk bagian dari partai politik di Indonesia; sosok Ruhut Sitompul bagian dari sosok yang ada di negeri ini.
Keberadaan sosok Ruhut Sitompul di Partai Demokrat adalah sebuah pilihan politik; dan SBY sadar hal tersebut; menempatkan partai politik dalam ukuran kepentingan yang lebih luas (bangsa dan negara), dan membiarkan Ruhut Sitompul tetap dalam Partai Demokrat adalah sebuah keputusan paling bijak yang SBY tempuh.
Itulah pemimpin yang sadar untuk melihat dan mendengarkan tentang kontribusi dan kualitas para kadernya; tanpa berlaku otoriter atas kekuasaan.
Ternyata memang Beda SBY dan Elite PKS dalam seni berdemokrasi; yang membedakan adalah sikap negarawan yang dimiliki. (WRJ/ADW)
Sumber: Lingkarannews