Pasukan khusus AS berbaju YPG Kurdi (foto), |
Koalisi internasional pimpinan AS mengirim pesawat tempur ke Hasakah, timur laut Suriah, pada hari Kamis (18/8), akibat sebuah kondisi yang "sangat tidak biasa".
Pesawat tersebut bergerak untuk melindungi pasukan khusus AS dari serangan jet rezim Suriah, seperti diungkap oleh seorang pejabat Pentagon, hari Jum'at.
Menurut juru bicara Pentagon, Kapten Jeff Davis, pesawat koalisi mencapai wilayah udara kota Hasakah dimana pesawat Su-24 Suriah juga beroperasi di sana.
Pasukan khusus AS berada di dekat area serangan udara rezim Assad terhadap milisi YPG. Davis menyatakan bahwa pasukan daratnya telah mencoba mengontak pesawat Suriah, tapi tidak ditanggapi.
Ia tidak merinci apakah ada respon jet koalisi atas serangan pesawat Su-24 tersebut.
"Ini sangat tidak biasa, kami belum pernah melihat sebelumnya rezim (Assad) melakukan tindakan semacam ini terhadap YPG", kata Davis.
Patroli udara tambahan telah dikirim ke daerah ini untuk melindungi pasukan khusus yang selama ini melatih dan membantu militan Kurdi dalam memerangi ISIS.
Pada hari Jum'at, dua pesawat Assad bertemu jet tempur AS F-22 dengan hanya berjarak 1 mil (1,6 km), namun tidak ada insiden apa-apa dari kedua sisi.
Rusia tak ikut campur
Davis juga menjelaskan jika Rusia telah dihubungi lewat saluran khusus keselamatan udara, dan Moskow menyatakan tidak terlibat pengeboman terhadap YPG. Sehingga pesawat penyerang adalah milik Assad.
AS meminta Rusia memperingatkan rezim Suriah bahwa pesawat koalisi akan melindungi pasukan khusus di darat jika terancam.
"Rezim Suriah disarankan agar tidak mengganggu pasukan koalisi atau mitra kami", katanya, menegaskan Amerika Serikat berhak membela pasukannya di Suriah.
Menurut Faysal Itani, dari lembaga think tank Atlantic Council, memang mudah bagi rezim Suriah untuk menghindari pemboman ke pangkalan besar, tetapi jauh lebih berisiko menyerang ke dekat pasukan YPG yang dilatih pasukan AS.
"Jika rezim terus mengebom di dekat pasukan AS, maka saya pikir AS akan menembak jatuh pesawat rezim", kata Itani. (Reuters)