Tadi pagi, saya mengikuti kajian Al Hikam yang diadakan oleh lembaga tempat saya bekerja. Ikut kegiatan beginian itu perlu banget. Ibaratnya, kalau fisik saja harus diberi makan setiap hari, maka jiwa dan hati, apalagi.
Jika fisik, jenis makanannya adalah berupa nasi dan lauk pauknya, maka jiwa dan hati, makanannya berupa pengajian dan majelis ilmu yang bermanfaat untuk masa depan.
Fisik dan hati harus sama-sama dijaga. Harus seimbang dan nggak boleh pilih kasih.
Belum lagi dengan adanya sebuah fakta bahwa iman di dalam dada itu naik turun, maka memberikan nutrisi yang berguna untuknya hati dan jiwa tadi, adalah sebuah keniscayaan. Harus!
Kajian diisi oleh seorang Ustad yang saya kagumi. Ia benar-benar hebat. Sudah hafal 30 juz Al Quran diusia yang masih relatif muda. Bahkan konon, ia menyelesaikan hafalan itu hanya kurang lebih selama satu tahun saja.
Wuidih. Mantep bener!
Pertama-tama, ia membacakan perkataan Ibnu Aththaillah dalam kitab Al Hikam yang berbahasa Arab dan kemudian mengartikannya: "Segala jenis maksiyat yang menimbulkan rasa terhina dan butuh akan Allah, itu jauh lebih utama dibandingkan taat yang menimbulkan perasaan lebih mulai dibandingkan orang lain, dan merasa takabbur."
Kebetulan, saya punya kitab Al Hikam di rumah dan pernah membaca hikmah di atas. Tapi dulu, ketika saya membacanya sendiri tanpa guru, saya merasa kurang puas, tidak yakin, dan khawatir terjerumus ke dalam pemikiran dan kesimpulan yang tidak benar.
Nah, tadi pagi, ketika sang Ustad yang saya kagumi itu menjelaskan, saya bahagia sekali. Persis seperti seorang musafir yang tersesat di gurun pasir yang panas, sedang kehabisan air minum sejak beberapa hari, lalu menemukan telaga yang jernih dan menentramkan.
Kebayang dong rasanya ya?
...boleh jadi begitulah saya tadi. Makanya, saya menjadi orang yang sibuk sendiri, mencatat apa saja yang disampaikan pada sebuah buku yang saya bawa.
Jika ilmu itu adalah ikan, maka mencatat dan menuliskannya adalah jala yang akan menangkapnya tetap di pikiran.
Balik ke perkataan Ibnu Aththaillah tadi ya: "Segala jenis maksiyat yang menimbulkan rasa terhina dan butuh akan Allah, itu jauh lebih utama dibandingkan taat yang menimbulkan perasaan lebih mulai dibandingkan orang lain, dan merasa takabbur."
Hikmah di atas jangan dijadikan alasan bahwa untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka kita harus melakukan maksiat dulu.
Jangan.
Bagi orang beriman, maksiat itu bukan pilihan. Tapi, jika ia sampai melakukan, maka ia sebenarnya terjebak dan ketika sadar bahwa ia berbuat salah, ia akan kembali ingat kepada Allah dengan ingatan yang sesadar-sadarnya.
Ambil contoh nabi Adam. Tidak diragukan lagi, dia adalah orang yang iman dan taqwanya kepada Allah teruji.
Tapi karena digoda setan, ia akhirnya memakan buah khuldi dan terusir dari surga yang abadi.
Selanjutnya apa? Nabi Adam lalu menyesal dan terus berdoa. Permintaan maafnya termaktub dalam Al Quran, Robbana dzolamna anfusana, waillam taghfirlana wa tarhamna lanakuu nanna minal khasiriin.
Doa tersebut diulang-ulang oleh nabi Adam hingga beberapa lama dan kemudian Allah menerima taubatnya.
Kemaksiatan nabi Adam mengantarkannya benar-benar ingat kepada Allah dan terus bertaubat. Ini jauh lebih baik dibandingkan ketaatan yang hebat, tapi ada rasa lebih mulai dibandingkan orang lain dan merasa besar.
Lihatlah Iblis untuk hal ini.
Dulu, sebelum Adam diciptakan, Iblis adalah makhluk Allah yang taat. Bahkan dalam sebuah hikayat, disebutkan bahwa Iblis memiliki derajat yang lebih mulia dibandingkan malaikat. Iblis selalu memuji dan menyembah Allah dengan benar.
Hingga kemudian....
Adam dibuat dan singkat cerita, ketika Iblis diminta untuk bersujud kepada Adam, ia malah bilang: "Aku lebih mulai daripada Adam ya Allah. Lalu buat apa aku harus bersujud dan hormat kepadanya?"
Allah marah. Murka luar biasa. Iblis menjadi makhluk terusir dan hina. Ia dilaknat karena merasa lebih mulai dan merasa besar sebab ketaatan dan penciptaannya.
Mendengarkan ustad yang menjelaskan sambil mengutip ayat-ayat Al Quran yang fasih dan lancar, saya senang bukan alang kepalang. Semua menjadi lebih terang dan benderang di kepala saya sekarang. Saya menjadi mengerti hikmah yang disampaikan Ibnu Aththaillah dalam kalimat di atas.
Saya memang belum memiliki iman yang baik, masih sering turunnya dibandingkan naiknya. Tapi saya senantiasa berdoa, semoga bisa mendekat ke Allah dan bermesra dengannya tanpa harus melakukan maksiat terlebih dahulu.
Demikian.