Ilustrasi pengeluaran sia-sia (foto), |
Peneliti PKEKK Rahma Indira mengatakan pihaknya melakukan penelitian tentang pengendalian konsumsi tembakau sepanjang Desember 2015-Januari 2016. Riset melibatkan 1.000 responden yang terdiri dari perokok dan bukan perokok.
Ia menuturkan bahwa selama ini sekitar 60 persen lebih perokok justru berasal dari kalangan miskin dan sekitar 30 persen lebih anak-anak merokok di bawah usia 10 tahun. Di sisi lain, rokok di Indonesia dijual murah untuk menarik perokok pemula.
Penelitian PKEKK menemukan 76 persen responden menyatakan akan berhenti merokok jika harga satu bungkus rokok mencapai Rp 50.000.
Sehingga kenaikan harga dan cukai juga akan membantu kelompok miskin tak mengkonsumsi rokok.
“Kenaikan harga rokok memutus rantai kemiskinan dan melindungi generasi muda”, kata Rahma kepada CNN Indonesia di Jakarta, Senin (22/8).
Kenaikan harga itu juga akan memaksa kelompok miskin untuk lebih selektif menggunakan pendapatannya. Namun untuk kelompok kaya yang kecanduan konsumsi rokok akan terus dilakukan.
Rokok juga berhubungan dengan penyakit yang ditimbulkan. Kelompok miskin yang terkena dampak kesehatan, tak akan mampu membiayai pengobatan yang harus dilakukannya.
BPS menyatakan persentase penduduk miskin di pedesaan meningkat dari 14,09 persen per September 2015 menjadi 14,11 persen per Maret 2016 karena peranan komoditas makanan.
Jenis komoditas yang berpengaruh di antaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras dan mie instan.
PKEKK menilai kenaikan harga dan cukai rokok dapat dikembalikan untuk pengendalian konsumsi rokok macam pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), melatih petani tembakau untuk peralihan kerja, serta pembinaan generasi muda dalam olah raga serta seni.
Selain itu juga bisa dialokasikan untuk riset dan promosi kesehatan.
PKEKK menyatakan, semakin murah rokok, maka semakin banyak dikonsumsi dan memperbanyak perokok yang akhirnya membahayakan kesehatan.
Oleh karena itu, menurut Rahma, kenaikan harga dan cukai rokok dapat membantu menyelamatkan jutaan jiwa di Indonesia. (CNN Indonesia)