Abdullah Saleh (foto), |
Kelompok ilegal yang mendukung mantan diktator Ali Abdullah Saleh ini mengaku akan mengizinkan Moskow menempatkan pangkalan dan fasilitas militer lainnya di Yaman.
"Dalam memerangi terorisme, kita menjangkau dan menawarkan semua fasilitas. Bandara kami, pelabuhan kami. Kami siap memberikan (akses) untuk Federasi Rusia", kata Saleh dalam sebuah wawancara di Sana'a dengan media Rusia24, Minggu (21/8), seperti dikutip CNN Indonesia dari Reuters.
Namun, sang mantan diktator sebenarnya tak akan bisa mewujudkan penawaran itu kepada Rusia, karena sebagian besar wilayah Yaman masih dikuasai oleh Presiden Mansour Hadi yang diakui internasional.
Rusia merupakan salah satu negara yang mempertahankan kehadiran diplomatiknya di Yaman meski negara ini dilanda pertempuran antara pemerintah sah yang didukung koalisi Arab, melawan Houthi dan loyalis Saleh yang didukung Iran.
Rusia sebagai anggota tetap DK PBB melakukan abstain dari resolusi tahun 2015 yang memberlakukan embargo senjata terhadap Houthi, serta penarikan mundur dari wilayah yang diduduki pemberontak Syi'ah tersebut.
Saleh yang digulingkan rakyat Yaman pada tahun 2011, bersama beberapa petinggi Houthi juga masuk daftar hitam PBB. Termasuk pembekuan asetnya di luar negeri.
Pada Sabtu (20/8), puluhan ribu warga Sana'a berunjuk rasa menunjukkan dukungan kepada pemberontak Houthi dan Saleh.
Menanggapi unjuk rasa ini, duta besar dari blok negara G18, termasuk Rusia, meluncurkan pernyataan yang mengutuk tindakan ilegal (inkonstitusional dan sepihak) di Sana'a.
Blok negara G18 adalah pendukung pembicaraan damai yang disponsori PBB untuk mengakhiri perang Yaman.
Dewan gubernur bentukan Saleh dan Houthi mengklaim kekuasaan Yaman secara secara sepihak sebagai tandingan pemerintah diakui, dan wujud kebuntuan perundingan damai di Kuwait. (CNN Indonesia/Reuters/rslh)