Ilustrasi kekerasan rezim Irn (foto), |
Dikutip CNN Indonesia dari Al-Arabiya, Rabu (17/8), lembaga Pusat Pembela HAM di Kurdistan mengutip keterangan para keluarga yang mengaku melihat bekas-bekas penyiksaan di tubuh tereksekusi mati.
Seorang ibu mengaku mayat putranya mengalami patah tulang tangan dan kaki, diduga akibat disiksa dahulu sebelum dihukum gantung.
Pada 2 Agustus lalu, para agen intelijen dan anggota pasukan khusus Iran merangsek masuk ke sel tahanan politik di Penjara Rajai Shahr di Karaj, bagian barat Teheran, dan menyeret 36 para aktivis Sunni Kurdi.
Yang kemudian langsung di hukum mati saat itu juga di lokasi yang tidak diketahui. Keesokan harinya, berita eksekusi mati 25 orang diantara mereka muncul.
Pusat Pembela HAM mendapat laporan dari aktivis politik di Sanandaj, ibu kota provinsi Kurdistan, bahwa agen intelijen Iran mengancam anggota keluarga tereksekusi agar tidak melaporkan kepada media soal tanda-tanda penyiksaan di tubuh anak-anak mereka.
Para aktivis mengatakan, pasukan keamanan juga memperingatkan keluarga agar tidak mengadakan upacara pemakaman bagi mereka yang digantung.
Kantor Berita Aktivis HAM, HRANA, melaporkan sebelum eksekusi para aktivis Sunni, aparat memborgol, menutup mata dan menyerang mereka lalu menempatkan mereka di sel seorang diri.
Eksekusi 25 aktivis Sunni, termasuk da'i muda Shahram Ahmadi, menuai kecaman internasional terhadap pemerintah Teheran.
PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat dan organisasi HAM mengecam eksekusi dan pengadilan mereka yang tidak transparan, pengakuan disampaikan terpaksa karena disiksa dan tidak memberi kesempatan para terdakwa membela diri.
Iran menuding para tereksekusi mati telah melakukan berbagai pembunuhan dan mengancam keamanan nasional.
Namun dalam surat yang berhasil mereka kirimkan ke organisasi HAM dari penjara, kebanyakan terdakwa membantah telah melakukan aksi kriminal bersenjata dan mengaku mereka ditangkap hanya karena menyebarkan pengajaran agama Islam, dan mereka juga membantah terlibat dalam gerakan ekstremis. (CNN Indonesia)