Direktur Perluasan Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, E Ilyas Lubis menjelaskan, skema iuran proram Jaminan Pensiun serupa dengan skema iuran JHT, yaitu melibatkan kontribusi pengusaha dan pekerja berdasarkan upah yang dilaporkan dan batas upah maksimal.
Besaran total iuran mencapai 3% dari upah pekerja, di mana 2% iuran dibayarkan oleh perusahaan/pengusaha, dan 1% sisanya kontribusi dari pekerja.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JP, besaran iuran 3% ini akan ditinjau secara periodik dan akan disesuaikan besarannya secara bertahap hingga mencapai angka besaran iuran yang ideal di kisaran 8%, agar manfaat yang diberikan kepada pekerja lebih optimal.
Adapun batas upah dan manfaat JP akan disesuaikan setiap tahunnya, seperti telah diatur dalam PP No. 45 tahun 2015. Tahun 2017, besaran batas upah maksimal untuk perhitungan program JP sebesar Rp 7.703.500 yang telah disesuaikan berdasarkan aturan dalam PP no. 45 tahun 2015.
" Besaran batas upah maksimal ini setiap tahunnya akan disesuaikan berdasarkan tingkat pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB)”, papar Ilyas melalui keterangan pers, Senin (13/2).
Lanjut ILyas, adapun batas maksimal pemberian manfaat JP akan disesuaikan berdasarkan tingkat inflasi umum tahun sebelumnya. Untuk tahun ini, manfaat JP maksimal yang dibayarkan kepada peserta adalah sebesar Rp 3.833.000, dengan batas bawah paling sedikit sebesar Rp 319.450.
Ilyas menekankan pentingnya pelaporan upah yang sesungguhnya sebagai dasar dari perhitungan perolehan manfaat JHT dan JP bagi pekerja yang memasuki masa pensiun. “ Upah yang dilaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan sangat menentukan besaran manfaat yang akan diterima pekerja nanti saat pensiun”, ungkapnya.
Per Desember 2016, penerima manfaat Jaminan Pensiun telah mencapai 15.000 kasus dengan nilai mencapai Rp 15,8 miliar. Penerima manfaat adalah pekerja yang meninggal atau cacat total tetap dengan masa iuran tidak mencapai 15 tahun. (bmw/antara/britasatu/kontan/)