Mendagri bersikukuh terdakwa Ahok tetap aktif

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghargai pendapat Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali tentang permintaan fatwa MA atas status Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI.

Tjahjo tidak akan memaksakan MA mengeluarkan fatwa yang diminta jika memang dinilai tidak perlu.

"Soal fatwa MA, kami tidak memaksakan MA mau buat fatwa atau tidak", ujar Tjahjo di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Kamis (16/2/).

"Statement Ketua MA kan menyerahkan ke Mendagri, jadi apa yang sudah saya anggap benar, ya itu benar. Jadi, ya sudah", kata dia.

Oleh sebab itu, Tjahjo tidak akan mengubah keputusannya soal mengaktifkan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, yang juga menjadi terdakwa penistaan agama.

"Saya yakin betul, saya mempertanggungjawabkannya kepada Bapak Presiden apa yang sudah saya putuskan belum memberhentikan (Basuki)", ujar Tjahjo.

Keputusan mengaktifkan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menuai protes.

Bahkan, sebagian fraksi di DPR ingin menggunakan hak angket untuk mempertanyakan keputusan Mendagri.

Ahok dianggap tidak bisa lagi aktif menjadi Gubernur DKI karena status hukumnya sebagai terdakwa kasus penodaan agama.

Mendagri kemudian melayangkan permintaan penerbitan fatwa kepada MA untuk memperjelas ketentuan dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Belakangan, Ketua MA Hatta Ali mengatakan hal itu tidak memerlukan fatwa MA. Persoalan bisa diselesaikan oleh biro hukum di Kemendagri.

"Sampai sekarang suratnya belum saya baca, seyogianya permasalahan ini dapat dibahas di bagian hukum mereka", ucap Hatta di Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa (14/2).

Berdasarkan Pasal 83 UU tentang Pemda, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara.

Pemberhentian itu bisa terjadi jika hukuman di atas lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Inilah bunyi pasal tersebut:

"Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia" (Kompas/Detikcom)