Ustadz Adnin Armas dan UBN |
Kuasa Hukum dari ketua Yayasan Keadilan untuk Semua (Justice For All), A. al-Khatiri, menyatakan tidak menemukan kejahatan apapun yang dilakukan kliennya, seperti kasus tuduhan cuci uang dari polisi.
Al-Khatiri mendampingi ketua Yayasan, Ustadz Adnin Armas, saat memenuhi panggilan Bareskrim Polri, Rabu (15/2), di Jakarta Pusat.
“Kalau anda tanya, kejahatannya tidak ada. Tapi yang dituduhkan jelas karena beliau ini sebagai ketua yayasan yang mana rekeningnya ini digunakan atau dipinjam oleh GNPF”, ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, meminjam rekening untuk kemaslahatan orang banyak bukanlah sebuah kejahatan.
Bahkan, hal ini sudah disepakati dan ada komitmen dari pihak Yayasan dengan pihak Gerakan Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).
Apalagi, yayasan ini mempunyai tujuan mulia dalam mengelola uang infaq, shadaqah dan sebagainya.
“Karena gerakan ini (GNPF-MUI) luar biasa. Dan yayasan ini anggaran dasarnya salah satu tujuannya sama, mengelola infaq, shadaqah dan sebagaiannya”, pungkasnya.
Yayasan itu sendiri bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan, seperti membantu pengungsi akibat konflik dan bencana alam.
Menjelang 411 dan 212 lalu, pihak GNPF-MUI meminta tolong agar dipinjami rekening yayasan, tujuannya menampung sumbangan dari masyarakat yang ingin membantu Aksi Bela Islam.
GNPF-MUI, sebagai kelompok adhoc yang dibentuk secara spontan, tak mungkin memiliki rekening bank sendiri.
“Saya tak mungkin tak mendukung aksi ini. Semua masyarakat berlomba-lomba ingin mendukung aksi bela Qur'an dan bela ulama. Saya juga ingin membantu”, kata Adnin.
Saat pencairan dana inilah, Adnin ikut dipersalahkan. Tindakannya memberikan kuasa akses penarikan uang via Islahuddin Akbar, seorang pegawai bank, dianggap salah oleh Kepolisian.
Padahal, kata Adnin, justru tak boleh menahan-nahan uang umat di dalam rekening yayasannya.
“Kalau saya menahan-nahan dana itu, saya bersalah. Tapi kalau saya memberikan akses kepada GNPF atas dana umat itu, kenapa justru saya disalahkan?”, Adnin mempertanyakan.
Al-Khatiri juga mengatakan, pasal yang dituduhkan polisi tidak ditemukan dalam kasus tersebut.
Menurutnya, jika rekening digunakan secara baik oleh GNPF, dan bukan pengalihan untuk kepentingan pribadi, maka "dimana letak kejahatannya?"
Selain mendanai aksi 411 dan 212, dana donasi juga digunakan untuk menyumbang bencana di Aceh dan Bima, sebesar 700 juta. Sisa yang belum digunakan ada 2,4 miliar.
Dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ini, pihak kepolisian telah menetapkan Islahuddin sebagai tersangka.
Ia dituduh tidak mengikuti prosedur perbankan di tempatnya bekerja, sehingga melanggar UU Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan dan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan TPPU.
Islahuddin, selaku mitra Ketua GNPF-MUI, dianggap bersalah karena telibat pengalihan dana di rekening Yayasan Keadilan untuk Semua.
Namun polisi belum merinci kemana dana pengalihan yang dianggap bermasalah itu. (Hidayatullah/rslh)