Ilustrasi (Al-Jazeera) |
Pistol dan senapan angin menjadi senjata andalan bagi pasukan keamanan India dan paramiliter di Jammu Kashmir selama bertahun-tahun.
Senjata ini diklasifikasikan dalam kategori "tidak mematikan" oleh rezim New Delhi. Fungsinya hanya untuk melukai, tapi tidak dapat membunuh.
Setiap peluru membawa "pil-pil" berukuran kecil atau disebut pelet. Jika pemicu ditarik, pistol akan memuntahkan ratusan bola padat kecil ke udara.
Ifra Shakour (14), gadis remaja Kashmir, menjadi buta setelah terkena tembakan pelet dalam kerusuhan 31 Oktober tahun lalu.
Saat itu, Ifra berada di rumah bersama ibunya. Menyadari adiknya tak ada di sana, Ifra beranjak keluar karena penasaran dimana saudaranya.
Namun, meski hanya bisa mencapai gerbang depan rumahnya. Ifra mendapati dua polisi berseragam berjalan ke arahnya.
"Ketika saya melihat mereka, saya merasa takut. Itu sebabnya saya lari", ujarnya.
"Mereka menangkap rambut saya dan menyeret saya. Kemudian memukuli tangan saya menggunakan tongkat. Tapi mereka belum puas, sehingga menembak saya dengan senapan angin", kisahnya.
"Setelah ditembak, saya tidak bisa melihat apa-apa. Darah keluar dari mata saya", lanjut Ifra.
Kerusuhan berasal dari aksi protes masyarakat Kashmir yang dikuasai India itu.
Penyebabnya adalah kematian Burhan Wani, seorang komandan gerakan perlawanan bernama Hizbul Mujahidin, atau separatis menurut India. Ia kemudian dibunuh tentara.
Wani sangat populer di masyarakat Muslim Kashmir, ia adalah ikon dan bintang media sosial yang punya banyak pengikut. Video dan postingannya menginspirasi para pemuda sepantaran.
Kematian Wani mengejutkan bagi Muslim Kashmir yang mendukungnya.
Seiring upacara pemakaman, pengunjuk rasa yang marah tumpah ruah membanjiri jalan, melempar batu ke arah pasukan keamanan India.
Sebagai respon, pemerintah melakukan tindakan represif. Rumah sakit bekerja keras mengatasi korban luka. Beberapa orang dipukuli, dan yang lain terkena senapan angin.
Seorang dokter mata di Rumah Sakit Srinagar mengatakan, mereka bekerja siang dan malam, menangani sedikitnya 1.000 pasien dengan butiran pelet bersarang di mata.
Beberapa diantara korban akhirnya mengalami kebutaan permanen seperti Ifra.
Pemerintah India kukuh menolak penghentian penggunaan senapan angin terhadap demonstran dan warga sipil.
"Jika ada pelarangan maka kami terpaksa menggunakan peluru, dan itu lebih mematikan", ujar Naeem Akhtar, seorang Menteri di pemerintahan negara bagian Jammu Kashmir.
"Penggunaan kekuatan tidak proporsional memang selalu berdampak masalah, seperti juga upaya pengendalian massa", ujarnya.
"Kami sebenarnya ingin menciptakan kondisi dimana tidak menggunakan itu. (Senjata) ini harus jadi pilihan terakhir karena memang tidak dipakai pada manusia", lanjut Akhtar.
Namun, aktivis dan pemimpin politik Kashmir menuduh pemerintah India tidak jujur.
Selama beberapa dekade ini, aktivis HAM telah mencatat kritikan terhadap pasukan keamanan, termasuk laporan pembunuhan di luar hukum, hingga penyiksaan dan pemerkosaan tahanan.
Mereka percaya pelanggaran di Kashmir berjalan sistemik.
"Sama sekali tidak ada demokrasi di sini, tidak ada aturan hukum, tidak ada perhitungan", ujar Umar Farooq, pemimpin kemerdekaan dan kepala keagamaan Muslim Kashmir.
Sementara itu keluarga Ifra mengaku pesimis kasusnya akan diselidiki. Mereka belum mengajukan laporan pada polisi.
"Jika kami mengeluhkannya, siapa peduli? Mungkin mereka akan mengambil keponakan kecil saya dan menempatkannya di penjara. Itu sebabnya, kami takut dan tidak akan melaporkannya", kata bibi Ifra ini, Rubeena.
"Sekarang terjadi pada keponakan saya. Nanti, hal itu akan dialami orang lain, dan orang lain lagi setelahnya. Sehingga kami mengatakan keinginan kemerdekaan Kashmir", lanjutnya.
Ifra telah menjalani tiga kali operasi untuk memulihkan penglihatan, tapi kemampuan matanya masih sangat terbatas.
Menurut kerabatnya, ia sudah berhenti bersekolah dan kurang nafsu makan. Ifra menghabiskan sebagian besar harinya hanya duduk sendirian di halaman rumahnya.
"Teman saya yang sering datang menemui saya tiap pagi, sekarang tidak datang lagi. Saya tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia sibuk belajar dan ke sekolah. Dia akan lulus. Tapi bagaimana dengan saya?", kata Ifra. (Al-Jazeera)