Wasekjen MUI Ancam akan Menginap di Gedung DPR Kalau Tuntutan tak Dipenuhi

BLOKBERITA, JAKARTA —  Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain mengatakan, demonstran akan menginap di depan Gedung DPR-MPR jika tuntutannya tidak terpenuhi.
Aksi yang menuntut pemberhentian sementara Basuki Tjahaja Purnama dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu, akan digelar pada Selasa (21/2/2017) besok.
" Kalau tuntutannya tidak dipenuhi, dua hari tidak, tiga hari tidak, kami akan menginap di sini," kata Tengku, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/2/2017).
Tengku mengatakan, aksi akan berlangsung sejak pukul 08.00 WIB dan diperkirakan akan dihadiri sekitar 100.000 orang dari 15 ormas.
" Dari MUI, dari MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), 15 organisasi massa. Sampai tuntutannya selesai," ujar Tengku.
Pada hari ini, perwakilan demonstran yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam Muhammad Al Khathath meminta kepada pimpinan DPR untuk memperjuangkan aspirasinya kepada Presiden Jokowi.
Selain itu, Al Khathath meminta kepada majelis hakim untuk segera menahan Ahok karena dianggap tidak mampu menjaga ucapan.
Pada kesempatan yang sama, pengacara Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Kapitra Ampera mengatakan, kedatangannya dan tuntutan saat demonstrasi besok tak bermaksud menyampaikan aspirasi politik, melainkan aspirasi hukum.
" Konstruksi hukum pidana di negeri ini tak mengenal ukuran minimal maksimal. Harusnya DPR mendesak pemerintah untuk hal ini," ujarnya.


Tanggapan Jokowi tentang Status Ahok

Terpisah, Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah menemui Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/2/2017).
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan itu yakni mengenai status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
PP Pemuda Muhammadiyah menilai, status Ahok yang tetap menjabat sebagai Gubernur meski sudah menjadi terdakwa kasus penodaan agama ini menimbulkan kegaduhan di publik.
"Oleh karena itu, kami minta kepada Pak Jokowi untuk sesegera mungkin menonaktifkan Pak Ahok," kata Dahnil seusai pertemuan.
Menanggapi permintaan Muhammadiyah itu, lanjut Dahnil, Presiden Jokowi mengaku akan menunggu pandangan hukum yang resmi, misalnya dari Mahkamah Agung atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sebab, Jokowi tidak mau terjebak dengan opini pribadi setiap individu.
Pemerintah sebelumnya sudah meminta fatwa Mahkamah Agung. Namun, MA menolak dan mengembalikan keputusan ke Kementerian Dalam Negeri.
Artinya, pemerintah hanya tinggal menunggu keputusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pemerintah sebelumnya digugat oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) agar segera menonaktifkan Ahok.
"Apabila PTUN menyatakan Ahok harus dinonaktifkan, maka Presiden akan ikut," kata Dahnil.
Menyikapi pendapat MA, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya tidak akan mengubah keputusannya soal mengaktifkan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Saya yakin betul, saya mempertanggungjawabkannya kepada Bapak Presiden apa yang sudah saya putuskan belum memberhentikan (Basuki)," ujar Tjahjo.
Menurut Tjahjo, secara aspek yuridis, pembuktian salah atau tidak seseorang hanya dapat ditentukan melalui putusan hakim melalui jalur pengadilan.

 
Sebelum ada putusan pengadilan, menurut Tjahjo, seseorang belum bisa dinyatakan bersalah.
Menurut Tjahjo, Kemendagri berpotensi menerima gugatan apabila memberhentikan atau menonaktifkan kepala daerah yang statusnya belum ditentukan oleh pengadilan.
Menurut Tjahjo, Kemendagri pernah digugat lantaran memberhentikan sementara kepala daerah yang tengah diproses di pengadilan.
Berdasarkan Pasal 83 UU tentang Pemda, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara.
 
Namun, pemberhentian sementara itu berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dakwaan Ahok terdiri dari dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
 
Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara itu, Pasal 156 a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
Oleh karena itu, Kemendagri akan terlebih dahulu menunggu tuntutan jaksa mengenai pasal mana yang akan digunakan.