Waspada potensi kerusuhan di akhir 212

Para peserta aksi 212 di depan gedung DPR/MPR, Jakarta, pada Selasa (21/2), sumber: BBC Indonesia
Di tengah guyuran hujan yang mengguyur ibukota, para peserta aksi 212 'jilid 2' tetap menggelar aksi di depan gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (21/2).

FUI kembali menjadi penggagasnya seperti halnya pada aksi 112 lalu.

Kali ini, inti massa tak murni kalangan Islamis, karena melibatkan elemen mahasiswa. Tapi tuntutannya masih sama, yaitu menyerukan penahanan terhadap Ahok.

Berbagai spanduk bertuliskan pencopotan terdakwa penista agama Ahok dari posisi gubernur DKI Jakarta.

Mereka telah berkumpul di kawasan depan gedung DPR/MPR sejak pukul 07.00 WIB.

Bersamaan dengan digelarnya aksi 212, Ahok menjalani sidang ke-11 kasus dugaan penistaan agama di auditorium gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.

Berbau politik tapi dibolehkan?
Rais Aam PBNU dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Ma'ruf Amin, sebelumnya menyatakan "aksi 212 bersifat politis".

Bahkan, Front Pembela Islam (FPI) juga telah menyatakan tidak akan ikut serta aksi.

Padahal kelompok ini bersama-sama FUI merupakan penggerak aksi anti-Ahok di Masjid Istiqlal pada 11 Februari lalu, di Monumen Nasional pada 2 Desember 2016, dan aksi 4 November 2016.

Pagi hari tadi sudah dimulai dengan orasi yang membakar.

Dalam orasi, salah satu pimpinan aksi menyerukan Ahok ditahan atas tuduhan penistaan agama Islam, bahkan dengan tambahan, Jokowi akan digulingkan jika tak dituruti.

"Kalau Ahok tidak ditahan juga, maka jangan kaget kalau Jokowi yang kita tumbangkan. Sudah tiga kali diingatkan dengan damai, jika tidak didengarkan maka kita revolusi", ujar sang orator, yang disambut pekikan takbir para peserta, dikutip BBC Indonesia.

Orator juga bertanya ke massa, "Siap menginap?"

"Siap", ujar sejumlah simpatisan.

Tak seperti sebelumnya, pihak Kepolisian langsung mengiyakan aksi kali ini. Berbeda dengan upaya polisi pada aksi 411, 212 (jilid 1) dan 112 lalu.

Saat itu, Polri hingga polisi di daerah berjuang keras menghalangi arus massa dalam aksi dari luar.

Bahkan, Kepolisian juga mengingatkan agar tak ada agenda politik, apalagi tuntutan "inkonstitusional" yang menginginkan perubahan rezim.

Wajar, karena jumlah massa kali ini relatif sedikit, diperkirakan hanya 10 ribu saja.

Selain itu, lokasinya adalah gedung MPR/DPR, sehingga dianggap tak akan mengganggu kepentingan umum. Polisi bisa lebih tenang mengawal.

Polisi hanya memperingatkan agar massa tak menduduki gedung MPR/DPR.

Tetap waspada pada provokasi
Namun demikian, analisa sebuah sumber Risalah, kondisi kali ini justru yang paling rawan kerusuhan.

Karena pesertanya bukan umat Islam secara umum. Melainkan "khusus", termasuk elemen mahasiswa yang berusia muda.

Jika merujuk pada 411, saat aksi utama melibatkan umat Islam tak ada masalah sama sekali.

Baru kemudian pada petang hari, ketika aspirasi tak diterima presiden. Massa "khusus" dari peserta berusia muda mulai terlibat bentrokan dengan petugas di dekat istana karena ulah provokator.

Kondisi serupa juga ada pada hari ini.

1. Adanya isu politis
2. Ancaman penggulingan Jokowi jika Ahok bebas
3. "Siap menginap"
4. Elemen peserta lebih "khusus" bukan masyarakat umum, termasuk mahasiswa

FPI, yang selama rangkaian Aksi Bela Islam bertugas mengawal keamanan tidak melibatkan diri secara resmi.

Maka lebih waspada 'lah pada kerusuhan yang disetting atau diprovokasi...