Penolakan Megawati Pada Hendropriyono dan Skenario Gembosi Pilkada DKI 2017

[portalpiyungan.com] Tersiar kabar bohong yang mengatakan Yu Tun, nama panggilan Megawati, telah memanggil dan memilih Risma soal Pilkada DKI. Adalah sang arsitek, Hendropriyono yang mendesain kabar tak sedap itu untuk menggolkan, Risma – Sandi yang ia rekomendasikan untuk DKI.

Sebelum resmi merestui Ahok-Djarot, Yu Tun gelisah atas kabar miring yang mengatakan PDIP ketok palu ke Risma.

Sebab, Yu Tun lebih memilih melanjutkan Ahok – Djarot ketimbang Risma – Sandi yang dianggap belum mampu kalahkan Ahok. Sebelumnya kritik keras ditujukan ke PDIP yang tidak layak menyandang nama Perjuangan jika melanjutkan Ahok – Djarot. Namun setelah mendengarkan fakta-fakta dari lingkar terdalam Yu Tun, perlu kita maklumi posisi PDIP jika melanjutkan Ahok – Djarot.

Restu untuk Ahok -Djarto tentu saja membuat kubu internal PDIP dan Gerindra yang menyokong Risma – Sandi akan melakukan perlawanan.

Suatu ketika. Tak lama setelah kemenangan Pileg dan Pilpres 2014, Yu Tun memiliki satu permintaan. Permintaan Ibu Suri adalah perintah sekaligus target pencapaian bagi kader yang mengabdi di PDIP. Tak usah berdebat soal budaya yang terkesan kolot itu, biar bagaimana pun, budaya yang itu yang kemarin menang.

Yu Tun meminta, kemenangan di Pilkada 2015 dan 2017. Tolak ukurnya, tentu saja kemenangan Pilkada DKI 2017. Meski gerakan para Sunan sudah merebut kantong-kantong ekonomi Majapahit di Pantai Utara Jawa, belum menang jika belum rebut pusat Majapahit. Maka kunci terpenuhinya permintaan itu adalah kemenangan di Pilkada DKI 2017, meski PDIP banyak menang di Pilkada 2015.

Tiga orang peramal alias ahli nujum atau yang di jaman modern disebut penasihat di sekitar Yu’ Tun, melihat ada 2 pilihan : Melanjutkan Ahok – Djarot. Tidak melanjutkan Ahok – Djarot. Melanjutkan Ahok – Djarot adalah jalan mudah meraih kemenangan di DKI. Tapi, PDIP sebagai Wakil Gubernur. Tidak melanjutkan Ahok – Djarot berarti PDIP sendirian mengusung sepasang kandidat, atau tawar menawar dengan partai lain. Kata hati banyak kader PDIP menginginkan, seyogyanya PDIP tidak perlu bergantung pada Ahok. Sebab, PDI dulunya sempat berstatus tidak sah, berjuang keras, menyandang nama Perjuangan.

Sayangnya, tiga peramal sakti Yu Tun pun, tak mampu menjanjikan apapun jika mengambil pilihan cerai dari Ahok. Diundanglah juru bangun sakti bernama Hendropriyono. Mantan kepala sihir kerajaan yang menjadi operator ormas FPI,  juga awet muda karena rajin Botox. Konon, Hendropriyono menjadi arsitek di balik datangnya 12 juta suara misteri yang jadi kunci kemenangan Jokowi di 2014.

Kesibukannya sekarang, menggalang kerjasama dengan Proton Malaysia untuk membangun Mobil Nasional Indonesia. Lebih banyak di Malaysia, menghabiskan sore bersantai di daerah Pulau Indah, dekat pabrik utama Proton. Di Pantai itu, mungkin ia bisa melihat langsung area Tanjung Balai Asahan dengan mata telanjang, bagian dari negeri asalnya. Mungkin sore-sore, ia nostalgia soal Indonesia.

Hasil pembacaan Hendropriyono kepada Yu Tun, formulasi terbaik untuk opsi cerai dari Ahok adalah mengulang 2012, duet PDIP – Gerindra. Sebab, pendukung Ahok tidak lain anak-anak muda yang dulu digaet duet PDIP – Gerindra untuk menangkan Jokowi – Ahok. Hitungan Hendropriyono, semangat independensi pendukung Ahok akan luntur jika melihat kembalinya duet PDIP – Gerindra.

Yu Tun menjawab, ia hanya ingin kemenangan mutlak ketiga setelah dua kemenangan di Pileg dan Pilprers. Tersirat, Yu Tun tidak masalah PDIP ada di posisi Cagub maupun Wagub, yang penting menang. Dimulailah perlombaan itu, lomba membangun monumen ketiga. Kubu pro Ahok – Djarot (lingkar dalam Yu Tun) dan kubu pro mengulang PDIP – Gerindra (Hendropriyono). Semuanya demi memperlihatkan pada Yu Tun, mana pilihan terbaik berdasarkan nilai-nilai riil, survey, potensi, karakter dan sebagainya.

Hendropriyono menjanjikan dapat memenangkan PDIP di Pilkada DKI 2017, permintaan ketiga Yu Tun, dengan formula duet PDIP – Gerindra. Pola Anti Ahok dan Anti Tionghoa adalah salah satu pintu masuk yang dibangun Hendropriyono lewat Sutiyoso yang sekarang jadi Kepala BIN. Kemudian, Boy Sadikin menjadi utusan lobi perkawinan PDIP – Gerindra. Boy Sadikin adalah korlap Borobudur 22, rumah milik Djan Faridz untuk operasi tim Jokowi – Ahok di 2012. Rumah Borobudur 22 akan kembali dipakai jika PDIP memilih Risma – Sandi, untuk mengingatkan aura kemenangan 2012 pada relawan.

Namun kandidat Hendropriyono (Risma – Sandi) dinilai sejumlah internal PDIP yang mendukung perceraian Ahok – Djarot, bukan untuk DKI. Membawa Risma ke Jakarta, taruhannya PDIP bisa kehilangan Jawa Timur, populasi terbesar kedua setelah Jawa Barat. Risma adalah tokoh kunci PDIP untuk rebut Jatim 1. Jatim sebagai provinsi dengan populasi pemilih terbesar kedua di Indonesia adalah salah satu kunci kemenangan PDIP di Pilpres 2019.

Itulah alasan mengapa ketika gema perceraian Ahok – Djarot menguat kemarin, Gerindra dan PKS langsung jadikan Sandi untuk Cagub. Gerindra dan PKS (kuota 26) melobi Demokrat (kuota 10) dan Blok Islam (PAN, PPP, PKB, kuota 18) usung Sandi untuk Cagub. Jika Gerindra, PKS, Demokrat dan Blok Islam bersatu menghasilkan kuota 54, sedangkan PDIP memegang kuota 28. Calon nama Koalisi Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, PPP dan PKB adalah Koalisi Kekeluargaan. PDIP sedang dipaksa jadi Wagub di dua sisi, baik duet dengan Koalisi Kekeluargaan maupun Koalisi Beringin

Tanggapan Yu Tun terhadap kepungan Koalisi Kekeluargaan dan Koalisi Beringin adalah tak masalah. Bagi Yu Tun yang penting mencapai kemenangan ketiga. Tiga kemenangan mutlak PDIP pada kepemimpinan terakhir Yu Tun yang sudah uzur, biar bagaimana pun kunci harumnya nama keluarga Soekarno dan PDIP.

Dari sisi klasik, permintaan sulit Yu Tun yang banyak orang bilang terlalu banyak maunya, tidak lain adalah bentuk pengabdian. Itu kalau kita lihat dari sisi Yu Tun. Bebas makna, tapi setelah mendengar langsung, bisa dipahami mengapa Yu Tun tampak oportunis demi menang, ialah karena pengabdian.

Itulahmengapa hingga hari ini, ternyata PDIP masih mengunggulkan lanjutkan Ahok – Djarot, meski masih membuka hasil gerakan Risma – Sandi. Indikator-indikator kemenangan masih unggul opsi Ahok – Djarot, ketimbang opsi Risma – Sandi. Apalagi, Risma dan faksi PDIP Jatim meminta secara halus Risma tetap di Jatim terkait operasi rebut Jatim di 2019. Permintaan Risma dan PDIP Jatim ke Yu Tun inilah yang kemudian dibalik menjadi isu : PDIP ketok palu ke Risma.

Kekhawatiran Hendropriyono terjadi, Risma dan PDIP Jatim menyatakan mundur ke Yu Tun karena DKI bukan medan perangnya dan ingin fokus Jatim. Yang menarik, Demokrat sebagai motor Blok Islam (PAN, PPP, PKB) bermain sendiri. Sementara Gerindra – PKS pasang posisi tawar Sandi Cagub dan PDIP Wagub. Demokrat mendesain Blok Islam duet dukung Risma Cagub, sedangkan Sandi Wagub.

Kepentingan Demokrat, Risma ke Jakarta, Jatim berpeluang direbut kembali. Apalagi, SBY ber-KTP Bali dan sudah bangun markas besar Demokrat di kediamannya di Bali. Fokus SBY saat ini adalah rebut kembali Surabaya, pelabuhan utama arus distribusi ke Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua. Merebut Surabaya adalah kunci merebut ekonomi dan bisnis di RI Tengah dan Timur, modal kolonisasi Pileg dan Pilkada.

Haqul Yakin, begitu PDIP ketok palu Risma – Sandi, Demokrat dan Blok Islam (kuota 28) akan usung pasangan kandidat ketiga untuk DKI. Tujuan Demokrat sekarang adalah Risma cabut dari Surabaya, lalu usung pasangan ketiga di DKI. Risma cabut dari Surabaya, Demokrat bergerak rebut kembali Tanjung Perak untuk bangun kongsi bisnis-politik kebangkitan Biru di Tengah dan Timur.

Sejumlah pertimbangan di atas yang sedang menjadi perhatian Yu Tun dan 3 Peramalnya. Sebetulnya, secara lingkar teratas, hasil pembacaan mereka semacam sudah ketok palu kalau PDIP pasti Ahok – Djarot. Hanya saja, mereka masih menunggu gerakan Hendropriyono usung Risma – Sandi.

Entah benar atau tidak, kabarnya ada suatu desain dari petinggi kenapa Pilkada DKI digelar Februari 2017. Padahal, Pilkada 2015 digelar pada Desember 2015. Padahal juga, banyak jabatan Kepala Daerah habis di akhir 2017. Lalu mengapa Pilkada digelar pada Februari 2017?

Kabarnya, Hendropriyono dan sejumlah petinggi pemain, menyiapkan suatu model kecurangan yang hanya cocok dilakukan Februari. Februari adalah bulan hari raya Imlek. Imlek selalu diiringi dengan hujan deras. Masih ingat banjir rutin Februari? Konon, ada skenario membabat volume voters Tionghoa (di seluruh Indonesia) melalui Pilkada Februari. Budaya mudik dan jalan-jalan juga terjadi pada etnis Tionghoa ketika momentum Imlek. Diharapkan, voters Tionghoa akan merosot secara nasional. Karena, logika tradisional etnis Tionghoa juga sama saja, event budaya-reliji lebih penting dari event politik. Jadi mungkin taktik ini benar dapat memangkas voters Tionghoa.

Di sisi lain, Imlek selalu diiringi hujan. Untuk situasi Jakarta, kondisi banjir saat angkut kotak suara kabarnya jadi celah sabotase. Kalau taktik ini benar dieksekusi, maka kita akan lihat sungai kawasan Jakarta Barat akan ‘terkendala’ dadakan di Pilkada 2017. Jika konsentrasinya menyabot suara Tionghoa di DKI, maka aliran sungai kawasan Jakarta Barat akan dikacaukan.

Terlalu konspiratif? Tidak. Ini model operasi umum di belahan dunia mana pun.

Maka sebaiknya, Ahok mulai mewaspadai potensi kekacauan aliran sungai Jakarta Barat. Termasuk Waduk Pluit. Siapa tahu mendadak pakai isu ISIS, waduk Pluit di bom, banjir seketika. Demi operasi kecurangan Pilkada 2017. Berjaga-jaga lebih baik ketimbang jadi korban.

Jadi posisi terkini, peluang Risma – Sandi semakin mengecil. Secara internal terdalam, sudah ketok palu pasti Ahok – Djarot, kecuali tiba-tiba Hendropriyono berhasil menggebrak. Dan kelihatannya, Hendropriyono mengubah strategi karena Risma – Sandi elektabilitasnya kurang. Ditambah Risma dan PDIP Jatim meminta halus kepada Yu Tun agar tetap fokus di Jatim.

Penulis: Ratu_Adil
Editro: Tim Portal Piyungan