Hukum Cambuk tak langgar aturan Internasional?

Ilustrasi hukuman cambuk di Aceh (foto: BBC)
Sebuah karya ilmiah menelisik tentang hukum cambuk sesuai Syariat Islam dalam kacamata hukum Internasional.

Saat ini, sejumlah negara menerapkan hukuman cambuk. Seperti Arab Saudi, Singapura dan Aceh di Indonesia.

Untuk penelitian ini, penerapan di Aceh menjadi obyek kajian.

Disusun oleh Fajri Matahati Muhammadin dan Almonika Cindy Fatika Sari



HUKUM CAMBUK DALAM QANUN ACEH DAN LARANGAN
MELAKUKAN PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN TIDAK MANUSIAWI
DALAM THE CONVENTION AGAINST TORTURE*


ABSTRACT


Walaupun dianggap kuno oleh sebagian orang, Syariat Islam menerapkan hukuman cambuk untuk sejumlah kejahatan. Aceh adalah sebuah provinsi istimewa di Indonesia yang memiliki privilege untuk menerapkan Syariat Islam secara terbatas. Antara lain, Aceh menerapkan hukuman cambuk untuk beberapa kejahatan antara lain perzinahan, judi, meminum khamr, dan lain sebagainya. Sebagian pihak mengklaim bahwa hukuman cambuk ini sebagai pelanggaran terhadap larangan melakukan penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi. Tulisan ini akan mengeksplorasi sumber sumber hukum internasional yang relevan dan menilai apakah klaim tersebut adalah benar. Akan ditemukan bahwa ternyata hukuman cambuk yang merupakan Syariat Islam yang dijalankan di Aceh tidak melanggar ketentuan tersebut, kecuali dalam pandangan hukum internasional yang sangat dangkal saja.

Kata Kunci: Qanun, Aceh, Cambuk, Penyiksaan, Perlakuan Tidak Manusiawi

Pendahuluan

Daerah Istimewa Aceh adalah sebuah wilayah otonomi khusus dengan hak istimewa untuk melaksanakan Syariat Islam terbatas untuk beberapa hal, yaitu pada masalahmasalah: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayat (hukum pidana), qadha’ (kehakiman), tarbiyah (pendidikan), syiar and da’wah, dan pembelaan Islam, yang–sesuai Pasal 125(2) UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UU Pemerintah Aceh)—akan diatur lebih lanjut melalui Qanu Aceh.

Qanun Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Jinayat (Qanun Jinayat) menjadi sebuah kontroversi karena berbagai hal, dan penelitian ini mengkhususkan pada hukuman cambuk sebagai salah satu sanksi yang dapat diterapkan oleh hakim, yang mana pelaksanaannya harus di muka umum. Pasal 1(15) Qanun Jinayat memberi daftar kejahatan yang dapat dihukum dengan cambuk, antara lain: zina, Khamr (miras), maisir (judi), dan lain sebagainya.

Berbagai pihak telah mengklaim bahwa hukuman cambuk sangatlah tidak manusiawi, merupakan penyiksaan, dan melanggar hak asasi manusia atau HAM [1] termasuk antara lain organisasi HAM seperti Kontras [2]. Sekilas tampak mereka memiliki dasar hukum untuk klaim mereka, karena Pasal 28(I) UUD 45 mencantumkan hak untuk tidak disiksa sebagai salah satu hak yang tidak dapat dibatasi atau non-derogable. Lebih lanjut, Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture atau CAT [3]. 

Apakah klaim ini memiliki landasan yang kuat dalam perspektif hukum internasional?

Penelitian ini akan melihat bagaimana hukum cambuk diterapkan dalam Qanun Aceh dan membandingkannya dengan konsep penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dalam hukum internasional untuk menilai apakah klaim tersebut benar. Akan ditemukan bahwa memang ada diskursus dalam hukum internasional tentang hukum cambuk dan larangan penyiksaan/perlakuan tidak manusiawi. Akan tetapi disimpulkan bahwa klaim bahwa hukum cambuk melanggar HAM adalah sebuah klaim yang lemah menurut hukum internasional.

Metode Penelitian

Paper ini adalah bagian dari sebuah penelitian lebih besar, yang menerapkan metode normatif-empirik karena melakukan penelitian lapangan sekaligus pustaka [4]. Akan tetapi, bagian penelitian yang dipublikasikan dalam paper ini utamanya adalah normative karena datanya mayoritas bersumber sekunder misalnya hukum positif terutama konvensi internasional, literature, dan juga wawancara mendalam dengan:

a. Ulama yang terlibat dalam penyusunan Qanun Jinayat,
b. Kasi Penyidikan dan Penindakan Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Aceh.,
c. Panitera Muda Jinayat Mahkamah Syariah Banda Aceh, dan
d. Hakim Tinggi Mahkamah Syariah Aceh.

Hasil Penelitian

Hukuman Cambuk Sebagai Tindakan Penyiksaan. CAT dalam Pasal 1 memberikan definisi Penyiksaan yang sangat komprehensif. Versi terjemahan Bahasa Indonesia KONTRAS dari pasal tersebut adalah sebagai berikut:

[…] setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.

Tidak semua unsur dari definisi tersebut dipenuhi oleh hukuman cambuk yang dilaksanakan dalam Qanun Jinayat. Unsur yang paling jelas tidak terpenuhi adalah unsur terakhir, yaitu “…tidak meluputi
rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.” Jelas sekali betapa unsur ini tidak terpenuhi, dan tidak diperlukan analisis yang sulit untuk menunjukkannya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hukuman cambuk di Aceh dilaksanakan sebagai hukuman untuk sebagian tindak pidana dan diatur melalui Qanun Jinayat, yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah Aceh sesuai kewenangan yang diberikan oleh UU Pemerintahan Aceh. Unsur lain yang tidak terpenuhi adalah elemen pertama yaitu “…menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat…”, dan untuk unsur ini dibutuhkan analisis yang lebih mendalam. Sulit menemukan standar yang tegas untuk menentukan seberapa hebat rasa sakit yang disyaratkan, ada beberapa preseden dan referensi sebagai ilustrasi:

 Aksoy v. Turkey (Pengadilan HAM Eropa): pemukulan berat, penyengatan dengan listrik, sampai menimbulkan banyak cedera termasuk cedera bilateral brachial plexus [5]
 Lopes Burgos v. Uruguay (Komite HAM PBB): serangkaian kekerasan termasuk pemukulan untuk waktu yang lama, tidak banyak cedera yang dideskripsikan kecuali patah pada rahang dan kerusakan gendang telinga [6]
 Special Rapporteur Report (UN Commission on Human Rights): pemukulan dapat termasuk penyiksaan jika menimbulkan (a) luka; (b) pendarahan internal, (c) keretakan tulang, (d) cranial traumatism atau kerusakan syaraf, atau (e) Falanga (memukul kaki dengan alat besi sedemikian rupa sehingga tidak ada luka, namun menimbulkan masalah pada otot dan syaraf sensorik yang
berdampak jangka panjang atau bahkan permanen) [7]

Sebetulnya lebih banyak preseden tapi kesemuanya menunjukkan cedera dan rasa sakit yang luar biasa parah dengan kemungkinan berdampak jangka panjang. Di sisi lain, ditemukan bahwa hukum cambuk dalam Qanun Aceh tidak memenuhi standar ini.

Sebagaimana diamati langsung di kantor Wilayatul Hisbah, cambuk yang digunakan tidak terlalu tebal dan tidak terlalu keras, untuk membatasi rasa sakit yang ditimbulkan (lihat Gambar 1 di bawah).


Ukuran Cambuk yang digunakan
Lebih lanjut, sesuai dengan peraturan yang berlaku, lokasi pelaksanaan diatur sedemikian rupa supaya mengurangi rasa sakit yang berlebih dan ada orang-orang tertentu yang wajib mengamati proses pelaksanaan cambuk.

Khususnya pada Gambar 2, ada dua hal yang perlu disoroti. Pertama adalah jarak dan sudut posisi algojo yang diatur sedemikian rupa dengan tujuan agar cambukan memberikan cukup tapi tidak terlalu banyak rasa sakit. Kedua, diwajibkan agar ada dokter yang mengamati pelaksanaan hukuman cambuk, dan mereka boleh mengintervensi jika terpidana dirasa berresiko untuk cedera berat atau bahkan jika tampak tidak dapat menahan sakitnya. Ketika dokter mengintervensi, hukuman cambuk akan dihentikan sementara hingga terpidana telah diberi tindakan medis yang dibutuhkan hingga sembuh sesuai Pasal 266(3) Qanun Aceh No. 7 tahun 2013 tentang Qanun Acara Jinayat (Qanun Acara Jinayat).

Lebih lanjut untuk membatasi rasa sakitnya, telah diatur teknik khusus bagi algojo dalam melakukan cambukan. Antara lain: sudut dan jarak yang diatur, hanya boleh mencambuk punggung, terpidana harus mengenakan pakaian, dan cambukan disebar ke berbagai titik agar rasa sakit tidak mengumpul di satu titik saja. Salah satu deskripsi tingkat kekuatan cambukan adalah bahwa ia tidak boleh cukup kuat untuk merobek kertas kardus. Bahkan ditemukan beberapa kasus di mana terpidana menyembunyikan kardus di balik punggungnya dan mengurangi banyak rasa sakit.

Belum lagi bahwa dokter juga wajib memeriksa terpidana sebelum dan sesudah pelaksanaan hukuman cambuk, dan menunda pelaksanaan jika dirasa terpidana kurang fit.

Pasal 1 CAT memang mencakup juga rasa sakit yang bersifat psikologis sebagai unsur penyiksaan, hal ini juga tidak terpenuhi. Belum ditemukan penelitian yang mengamati dampak psikologis dari hukuman cambuk, tapi dapat ditemukan beberapa petunjuk yang mengarah ke sana. Penjara, misalnya, menurut penelitian dapat menyebabkan stress psikologis [8] tapi tetap penjara masih digunakan di seluruh dunia dan secara hukum umumnya tidak dianggap penyiksaan. Sedangkan informasi dari Mahkamah Syariah Aceh menjelaskan bahwa banyak terpidana yang lebih memilih hukuman cambuk daripada hukuman penjara. Ini bahkan termasuk non-Muslim yang umumnya tidak berada di bawah yurisdiksi Qanun, kecuali jika non-Muslim itu sendiri yang memilihnya sesuai Pasal 5(b) Qanun Jinayat.

Dengan demikian sudah jelas bahwa hukum cambuk tidak dapat digolongkan sebagai tindak penyiksaan. Hukum Cambuk sebagai Perlakuan Tidak Manusiawi. Komite HAM PBB, ketika memberi catatan pada Pasal 7 dari the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), menyebutkan bahwa tidak perlu (dan mereka pun tidak pernah) memisahkan antara “Penyiksaan” dan “Perlakuan Tidak Manusiawi” (PTM) [9]. Akan tetapi CAT memisahkan antara keduanya.

Mencari standar yang tegas untuk PTM bahkan lebih sulit lagi. Pasal 16 CAT menjelaskannya sebagai berikut:

“… perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 …”

Melihat semua dasar hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa PTM memiliki cakupan yang luas dan Penyiksaan merupakan PTM di tingkat tertinggi (dengan persyaratan yang paling ketat). Ini berarti bahwa –di bawah tindak penyiksaan—banyak hal yang dapat diklaim sebagai PTM. Jika demikian, di manakah batas bawah dari sebuah perbuatan untuk dapat diklasifikasikan sebagai PTM? Manfred Nowak [10] dalam laporannya menyebutkan bahwa PTM dibedakan dari penyiksaan dengan indikasi berikut ini:

a. Perlakuan yang menyebabkan rasa sakit yang hebat tapi tidak memenuhi syarat niat atau tujuan spesifik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 CAT (i.e. interogasi atau mengintimidasi dll), atau
b. Perlakuan yang ditujukan untuk mempermalukan, tetapi tidak menyebabkan
rasa sakit atau penderitaan yang berat.

Ada beberapa standar yang dapat ditemukan dalam beberapa preseden:
 The Greek Case (Komisi HAM Eropa) mendefinisikan PTM sebagai berikut:

“ […] mencakup setidaknya sebuah perlakuan yang dengan sengaja
mengakibatkan penderitaan yang hebat, baik fisik maupun psikis yang, dalam
situasi tersebut, tidak dapat dibenarkan […] Sebuah perlakuan atau sanksi dapat disebut merendahkan jika dia merendahkan korbannya dengan amat sangat di hadapan orang lain atau membuat si korban untuk melakukan sesuatu di luar kehendak atau nuraninya.” [11]

 Essono Mika Miha v. Equatorial Guinea (Komite HAM PBB): Pemberian makan dan minum yang sangat kurang selama seminggu, penyiksaan selama dua hari, dan selama beberapa minggu tidak diberikan pelayanan medis yang dibutuhkan olehnya [12]. Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini “penyiksaan” menjadi salah satu indikasi PTM, yang dapat membuat blur batasan antara
keduanya.

 Nathanaiel Williams v. Jamaica (Komite HAM PBB): Penahanan yang berkepanjangan dalam penantian hukuman mati –bukan serta merta merupakan PTM—tapi menjadi lebih buruk karena terpidana tidak diberikan layanan medis untuk gangguan kejiwaannya yang terus menerus semakin
parah dalam masa penantian tersebut [13].

Apakah hukuman cambuk memenuhi kualifikasi ini?

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tingkat rasa sakit dalam hukum cambuk tidak terpenuhi. Sehingga harusnya jelas bahwa poin a otomatis tidak terpenuhi.

Point b, di sisi lain, memiliki dua alternative pendekatan karena tampaknya penyusun Qanun Jinayat dan Mahkamah Syariat tidak sependapat dalam menyebutkan niat di balik pelaksanaan hukuman cambuk.

Pertama, yaitu perspektif Ulama yang menyusun Qanun Jinayat, menyebutkan bahwa tujuan utama dari hukuman cambuk adalah untuk memberikan rasa sakit (walaupun terbatas). Dengan demikian unsur niat untuk mempermalukan tidak terpenuhi.

Kedua, adalah informasi dari Mahkamah Syariah, yang justru mengatakan bahwa tujuan utama dari hukuman cambuk bukanlah rasa sakitnya melainkan justru rasa malunya. Tapi mereka juga mencatat bahwa bukan hanya para terpidana lebih memilih hukum cambuk daripada penjara, tapi juga setelah selesai dicambuk para terpidana ini kembali ke masyarakat sebagai orang yang ‘bersih’. Bahkan disebutkan bahwa setelah pelaksanaan cambuk, para terpidana bisa minum kopi bersama penonton dan terkadang bahkan bersama petugas pelaksana hukuman cambuk. Tentu ini bukanlah sebuah tindakan mempermalukan yang akan masuk kualifikasi PTM.

Sayangnya, rezim ‘soft law’ membuat masalahnya lebih rumit sebagaimana akan dijelaskan di sub-bab berikutnya.

Hukuman Cambuk Menurut “Soft Law” Internasional. Boyle dan Chinkin [14] menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘soft law’ adalah dokumen hukum internasional yang secara formal bersifat tidak mengikat. Contohnya antara lain adalah resolusi, keputusan, atau Code of Conduct yang dikeluarkan oleh organisasi internasional, laporan oleh komite konvensi internasional, dan lain sebagainya.

Menurut pandangan yang agak tradisional, ‘soft law’ tidak dianggap sebagai sumber hukum internasional formal karena tidak ditemukan di Pasal 38(1) Statuta Mahkamah Internasional atau ICJ. Akan tetapi para pakar hukum beraliran konstruktivis mengamati bahwa –walaupun tidak mengikat secara formal—ternyata ‘soft law’ sering dirujuk sebagai sumber hukum [15]. Misalnya, sebuah resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa atau UN GA pernah dirujuk oleh ICJ sebagai dasar memutus bahwa Amerika Serikat melanggar hukum kebiasaan internasional [16].

Lebih lanjut, dan relevan dengan paper ini, beberapa ahli hukum termasuk Boyle dan Chinkin [14] mencatat bahwa ketika sebuah komite konvensi internasional mengeluarkan resolusi atau catatan terhadap konvensi internasional yang membentuk mereka, biasanya negara-negara menganggapnya sebagai penafsiran yang otoritatif.

Khususnya terkait hukum cambuk, ternyata ada ‘soft law’ yang secara tegas menyatakan bahwa hukum cambuk adalah bertentangan dengan CAT. Komite CAT dalam laporan terhadap Saudi Arabia pada tahun 2002 [17] dan 2016 [18] menyatakan berbagai hal antara lain bahwa hukum cambuk yang dilaksanakan berdasarkan Syariat Islam adalah bertentangan dengan CAT. Karena itulah kemudian banyak yang dengan mudah merujuk saja laporan Komite CAT sebagai sumber hukum otoritatif untuk menyatakan bahwa hukum cambuk bertentangan dengan CAT, antara lain the Association for the Prevention of Torture (APT) dan the Center for Justice and International Law (CEJIL) [19].

Akan tetapi, hal ini harus lebih dikritisi lagi. Apakah ‘soft law’ memang betul seotoritatif sebagaimana diklaim oleh Boyle dan Chinkin? Apakah Komite CAT memiliki argument yang kuat dalam laporannya?

Penelitian ini mendapati bahwa ‘soft law’ tidaklah selalu seotoritatif sebagaimana yang diklaim. Kasus Pasal 16 pada the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW adalah sebuah contoh yang baik.

Ketika mukadimah dan pasal pasal awal CEDAW menggunakan istilah ‘equal rights’ (kesetaraan hak), Pasal 16 yang terkait hak dalam keluarga justru menggunakan ‘same rights’ dalam menjelaskan hubungan antara hak laki-laki dan perempuan.

Komite CEDAW melalui General Recommendations No. 21 [20] menyatakan bahwa reservasi (maksudnya ‘pengecualian’) terhadap Pasal 16 CEDAW adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan CEDAW sehingga harusnya tidak boleh dikecualikan. Memang ada perdebatan panjang soal ‘apakah sejajar harus berarti sama’, dan jelas sekali stance Komite CEDAW soal ini. Apakah negara-negara mengikutinya?

Ternyata tidak semua. Lebih dari dua puluh negara (termasuk Pakistan, Singapura, Israel, Thailand, Irlandia, dan banyak lagi) justru melakukan reservasi terhadap Pasal 16 tersebut, entah untuk sebagian atau seluruh isi pasal tersebut. Belum lagi menyebut negara yang melakukan reservasi tanpa merinci pasal mana yang ia reservasi tapi dalam prakteknya mereservasi Pasal 16 (misalnya Saudi Arabia) atau negara-negara yang tidak melakukan reservasi tetapi menerapkan hukum keluarga yang bersifat ‘sejajar tapi tidak sama’ (misalnya Indonesia).

Memang dua puluh negara adalah minoritas dibandingkan keseluruhan negara peratifikasi CEDAW, tapi ini adalah minoritas yang cukup besar. Ini adalah bukti nyata bahwa komite konvensi internasional tidak selalu diikuti dan tidak ada universalitas pada Pasal 16 CEDAW. Menghadapi banyaknya negara yang melakukan reservasi terhadap Pasal 16, Komite CEDAW dalam General Recommendations No. 21 hanya mampu menyatakan keprihatinannya tapi tidak dapat berbuat lebih.

Selain posisi ‘soft law’ sebagai sumber otoritatif hukum internasional sendiri dapat dipertanyakan, ternyata laporan Komite CAT tentang hukum cambuk perlu dipertanyakan kualitas argumentasinya.

Terhadap laporan Komite CAT tahun 2002, Saudi Arabia telah mengajukan balasan pada tahun 2015 [22] dan 2016 [23] untuk menyanggah dan menolak kesimpulan laporan tersebut. Argumen Saudi Arabia bukan hanya bahwa mereka tidak memiliki lembaga negara yang kompeten untuk merevisi konstitus mereka (yaitu Al-Quran dan As-Sunnah), tapi juga bahwa hukuman cambuk adalah hukuman sah menurut hukum nasional serta tidak memenuhi kriteria penyikasan maupun PTM [lihat: 22 and 23). Argumen argumen ini, sebagaimana dijelaskan di sub-bab sebelumnya, sangat valid dan kuat.

Menariknya (dan sayangnya), ketika Komite CAT pada tahun 2016 mengirim tanggapan terhadap balasan dari Saudi Arabia tahun 2015, mereka tidak menjawab satupun sanggahan Saudi Arabia. Komite hanya sekedar mengulang saja apa yang pernah mereka sebut di laporan tahun 2002.

Dengan demikian bukan hanya bahwa laporan Komite CAT sebagai ‘soft law’ tidak mutlak otoritasnya sebagai sumber hukum, melainkan juga argumennya tidak cukup kuat untuk dijadikan landasan berhujjah. Sampai dengan saat paper ini ditulis, belum ada tanggapan dari Komite CAT terhadap surat tanggapan dari Saudi Arabia tahun 2016.

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilaksanakan, kesimpulannya sangat jelas: klaim yang menyatakan bahwa hukum cambuk dalam Qanun Aceh adalah melanggar CAT adalah klaim yang salah.

Analisis terhadap CAT jelas menunjukkan bahwa hukuman cambuk tidak memenuhi unsur-unsur penyiksaan menurut Pasal 1. Unsur penderitaan/rasa sakit yang hebat tidak terpenuhi, dan justru malah terpenuhi pengecualian terhadap hukuman sah dalam hukum nasional. Lalu untuk PTM, walaupun syarat pembuktiannya tidak seberat penyiksaan, ternyata juga tidak terpenuhi unsur-unsurnya karena tidak adanya penderitaan/rasa sakit yang hebat maupun niat untuk mempermalukan. 
Kesemua ini didukung oleh sumber primer hukum internasional yang didukung oleh ‘soft law’
sebagai penafsiran yang lebih lanjut mengenai konsep umum penyiksaan dan PTM.

Ditemukan bahwa argument yang menyatakan sebaliknya adalah semata mata berdasarkan ‘soft law’ saja yaitu laporan Komite CAT. Telah dijelaskan bahwa bukan hanya soft law secara umum tidak selalu dapat menjadi sumber hukum otoritatif, melainkan juga bahwa argument Komite CAT khususnya sangatlah lemah.