Anti Islam masih menjamur di Myanmar

Ilustrasi biksu Buddha Myanmar ultra-nasionalis
Pekan lalu, Jum'at (28/4), sekelompok massa ultra-nasionalis yang didukung biksu Buddha menutup paksa dua madrasah Islam di pusat kota Yangon.

Ini menjadi indikasi terbaru, bahwa sikap anti-Islam masih menjamur di tengah transisi demokrasi Myanmar yang tidak terkonsolidasi.

Dua sekolah Islam di Thaketa disegel para pemrotes Buddha karena dituduh beralih fungsi menjadi masjid ilegal.

Pihak keamanan Myanmar merespon dan menyanggupi tuntutan massa Buddha. Sekolah ditutup sementara dengan alasan keamanan.

Massa Buddha diyakini akan menghancurkan sekolah jika tuntutannya tak diindahkan.

Polisi pun hanya berdiri saat wartawan yang meliput dihina dan diintimidasi massa.

Hingga Rabu (3/5), atau lima hari setelahnya, madrasah itu masih ditutup. Dimana suasana lingkungannya tegang.

Insiden ini cukup jadi pertanda kebangkitan kelompok anti-Islam di Myanmar.

Gerakan Buddha radikal Ma Ba Tha, yang dikenal dengan kampanye boikot 969 dan memicu "kerusuhan periodik" terhadap komunitas Muslim.

Meski Myanmar bertransformasi menjadi negara demokratis sejak pemilu 2015, naiknya Aung San Suu Kyi sebagai kanselir negara, tidak bisa melenyapkan kelompok intoleran Buddha.

Bahkan, walaupun menegaskan akan melindungi minoritas dari konflik horizontal, pemerintahan Suu Kyi dinilai "tidak peduli" atas menjamurnya pesan kebencian Buddha radikal.

Sentimen anti-Islam di Myanmar sering disalahpahami sebagai "produk sampingan" dari penindasan etnis minoritas Muslim Rohingya yang tak diakui sebagai warga negara.

Padahal, keresahan umat Muslim di seluruh negeri terus-menerus terjadi. Sentimen kebencian tidak mereda di bawah pemerintahan "demokratis".

Juni 2016, sebuah masjid di wilayah selatan Bago diserbu massa dan dirusak.

Setelah itu, terjadi pembakaran sebuah masjid di kota Hpakant, Negara Bagian Kachin.

Seringkali serangan dilakukan dengan alasan status bangunan tidak sah, sehingga memberi alasan pemerintah daerah berpihak pada demonstran Buddha radikal.

Januari lalu, seorang pejabat Muslim dibunuh saat baru kembali dari Indonesia. U Ko Ni, seorang pengacara terus memperjuangkan hak-hak Muslim di negeri itu.

Dalang pembunuhan dikaitkan dengan mantan petinggi militer. (Asia Times)

Related Posts :