Pencitraan Busuk Abu Jahal




Mempersepsikan diri sebagai orang baik, peduli terhadap masyarakat memang itu kebaikan. Namun menjadi kejahatan ketika dilakukan dengan kamuflase.


Social engenering atau rekayasa sosial sering dilakukan orang atau sekelompok orang agar mereka dipersepsikan baik atau untuk menutupi fakta yang sesungguhnya. Aktivitas seperti ini terjadi dalam sosial politik di negara manapun termasuk Indonesia. Namun tahukah Anda bahwa hal seperti ini sudah dilakukan dalam culture sosial politik di era Nabi Muhammad SAW beberapa abad lalu.

Tokoh paling terkenal dalam perihal pencitraan yang cenderung mengabaikan fakta adalah Abu Jahal. Saking terkenalnya Abu Jahal disinggung oleh sejumlah ayat dalam Al Qur;an. Abu Jahal memang kerap kali melakukan rekayasa sosial untuk melumpuhkan pergerakan Nabi Muhammad SAW. Ia pun mendapat julukan Bapak Kebodohan.

Mulai dari cara kekerasan, halus sampai kepada strategi samar - samar, seperti lobi soal ritual ibadah. Ketika itu, Abu Jahal dengan keahlian mengolah kata - kata, mengajak Nabi Muhammad SAW berdamai dengan konsensus orang Quraisy dibiarkan melakukan ritualnya, umat Islam pun dibiarkan. Tak hanya itu, Abu Jahal CS juga mengajak bagaimana mereka bisa melakukan ritual seperti yang dilakukan Nabi Muhammad dan sebaliknya umat Islam boleh melakukan ritual seperti yang dilakukan Abu Jahal cs, yaitu menyembah berhala.

Sebuah konsensus win - win solution sebagai upaya melakukan gencatan senjata. Jika hanya dipandang dalam konteks kemanusiaan hal ini merupakan jalan keluar paling bijak. Namun jika dipandang dalam konteks Tauhid, jelas ini membahayakan dan beruntunglah turun ayat yang secara tegas menolak konsensus yang ditawarkan oleh Abu Jahal CS.

Tak hanya cerdik dalam melakukan rekayasa sosial, Abu Jahal juga orang yang cerdik melakukan pencitraan diri secara busuk. Dalam suatu masa, umat Islam diembargo ekonomi oleh Abu Jahal cs. Dalam catatan kisah seperti yang ada di buku The Great Story Muhammad, tiga tahun lamanya umat Islam diembargo ekonomi.

Namun ternyata bagi Abu Jahal, tekanan ini tidak ingin muncul ke publik sehingga persepsi publik terhadap dirinya dan kelompoknya buruk. Ia pun melakukan pencitraan saat masuk bulan haji, dimana kabilah - kabilah dari luar Mekkah datang dan saat itulah Abu Jahal membuat citra seolah - olah tidak ada kebijakan embargo terhadap umat Islam. Ia mengizinkan umat Islam di hari itu bebas melakukan aktivitas di Mekkah tetapi tetap dalam pengawasan Abu Jahal cs.

Memang dalam bulan tersebut tidak dibolehkan ada peperangan saat itu, namun kali ini menjadi istimewa di tengah kebijakan Abu Jahal CS yang melakukan embargo terhadap umat Islam. Abu Jahal pun menemui sejumlah kabilah dari luar Mekkah di depan mereka ia membuat citra bahwa tidak terjadi apa - apa di Mekkah, padahal mereka sedang melakukan embargo terhadap umat Islam ketika itu.

Pencitraan busuk Abu Jahal kedua adalah saat Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW sudah memasuki usia renta yaitu memasuki usia 80 tahun. Abu Jahal memutar otaknya agar dipersepsikan sebagai orang yang care terhadap saudaranya.

Ia pun rajin berkunjung ke rumah Abu Thalib dengan tetap membisikan agar Abu Thalib membujuk Muhammad untuk tidak berdakwah. Abu Jahal ingin memperspsikan bahwa dirinya tetap peduli terhadap Abu Thalib kendati sudah tua renta dan massagenya adalah ia dipandang baik oleh Abu Thalib dan publik.

Ia ingin dipersepsikan orang baik, tapi pada faktanya Abu Jahal cs ingin memanfaatkan situasi usia Abu Thalib yang mulai lemah fisik dan fikirannya. Harapannya tentu akan ada perubahan sikap dari Abu Thalib. Abu Jahal tidak ingin distigma oleh publik sebagai orang yang jahat, maka sebelum kematian Abu Thalib mereka sering mendatangi rumah Abu Thalib.

Pencitraan busuk seperti yang dilakukan Abu Jahal sampai sekarang masih terjadi dalam dunia politik. Inilah yang mengakibatkan citra sebagai teori keilmuan menjadi buruk di mata publik. Padahal hakikat pencitraan adalah upaya atau proses mengkomunikasikan dan menguatkan apa yang sesungguhnya dilakukan dalam hal positif, tapi dalam politik sering menjadi sebuah upaya rekayasa yang tidak sesuai dengan fakta.

Akibatnya sebagian publik seperti alergi ketika mendengar pencitraan, padahal aktivitas pencitraan merupakan hal positif agar diketahui khalayak luas dan bisa memberikan efek positif terhadap masyarakat secara umum.

Dalam teori komunikasi pemasaran, citra diri atau citra sebuah produk memang menjadi bagian penting yang harus dikomunikasi ke publik atau customer. Tujuannya adalah memberikan citra positif terhadap diri seseorang atau produk tertentu.

Ada beberapa tools komunikasi pemasaran yang biasa dipakai untuk pencitraan, yaitu advertising, public relation, event, komunikasi visual, direct selling. Tools ini bisa dipakai sebagai sarana yang efektif untuk mengkomunikasi citra tersebut. Bagaimana menggunakan tools tersebut? Akan saya bahas pada tulisan berikutnya.

Penulis,
Karnoto
#Pernah Studi Ilmu Komunikasi, Jurusan Marketing Communication Advertising
  Universitas Mercu Buana, Jakarta
#Mantan Jurnalis Jawa Pos Group (Radar Banten)
#Mantan Jurnalis Warta Ekonomi, Jakarta
#Founder Maharti Networking