Surat pernyataan resmi MUI |
Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma'ruf Amin meluruskan maksud fatwa pengenaan atribut keagamaan non-muslim bagi umat Islam.
Pasalnya, belakangan terjadi aksi sweeping yang dilakukan oleh organisasi masyarakat yang menjadikan fatwa MUI sebagai acuannya.
Amin menjelaskan, dikeluarkannya fatwa adalah sebagai pegangan bagi masyarakat Muslim agar tidak mengenakan atribut keagamaan lain karena hal tersebut dilarang oleh hukum agama.
MUI kemudian mengimbau para pengusaha agar tidak memaksa pegawainya yang Muslim untuk ikut mengenakan atribut perayaan Natal pada 25 Desember nanti.
Amin mengatakan, organisasi massa tidak berwenang melakukan sweeping dalam memantau ditegakkannya fatwa tersebut.
Jikapun ada perusahaan yang masih memaksakan karyawan Muslim untuk mengenakan atribut Natal, pihaknya mengimbau agar masyarakat atau siapapun segera melapor kepada aparat kepolisian.
"Nanti yang eksekusi bukan kita (MUI), tapi pemerintah atau pihak kepolisian", katanya.
MUI juga secara resmi mengeluarkan pernyataan dan tanggapan atas reaksi dari masyarakat terkait fatwa yang dikeluarkannya baru-baru ini.
Ada empat poin yang disampaikan dalam surat resmi yang ditandatangani oleh Ketua Umum MUI, Ma'ruf Amin beserta Sekjen MUI, Anwar Abbas, Selasa (20/12).
Rincian surat tersebut adalah sebagai berikut:
Pernyataan Pandangan dan Sikap MUI
Nomor: Kep-1228/MUI/XII/2016
Sehubungan dengan munculnya berbagai tanggapan dan respons dari berbagai pihak terhadap fatwa MUI Nomor: 56 tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim yang menimbulkan pemahaman yang keliru tentang fatwa tersebut, maka Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Substansi fatwa MUI Nomor 56 tahun 2016 tersebut menyatakan:
a. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
b. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Secara jelas fatwa tersebut ditujukan kepada umat Islam dan menjaga akidah dan keyakinannya, serta melarang pihak mana pun untuk mengajak dan/atau memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan keyakinannya.
3. Fatwa tersebut dibuat dalam kerangka penghormatan kepada prinsip kebhinnekaan dan kerukunan beragama di Indonesia. Makna dari kebhinnekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan, termasuk perbedaan dalam menjalankan keyakinan agamanya. Dengan demikian, faktor penting dalam prinsip kebhinnekaan adalah adanya saling menghormati dan tidak memaksakan keyakinannya tersebut kepada orang lain. Setiap bentuk pemaksaan keyakinan kepada orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan konstitusi.
4. Fatwa MUI mempunyai daya ingat keagamaan (ilzam syar'i) dan merupakan panduan bagi umat Islam dalam menjaga akidah dan keyakinannya, serta menjadi kaedah penuntun dan sumber inspirasi dalam pembentukan peraturan perundangan di Indonesia. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI mengapresiasi kepada berbagai pihak, khususnya jajaran kepolisian dan kepala daerah yang menjadikan fatwa tersebut sebagai sumber rujukan dalam menjaga ketertiban dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Wallahu al-Musta'an, wa Ilaihi at-Tuklan.
Jakarta, 20 Desember 2016
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Tanda tangan plus stempel MUI
Ketua Umum MUI, Dr KH Ma'ruf Amin; dan
Sekretaris Jenderal MUI, Dr H Anwar Abbas, MM, MA (Detikcom/Jawapos)