Jual Beli Anak Gadis Cina di Awal Abad 19

PORTAL BERITA 25 - Pada akhir abad ke-18 para imigran dari Cina di Malaya dan Hongkong membawa gadis-gadis belia dari Cina untuk dipekerjakan menjadi pembantu rumah tangga. Para gadis yang dinamai mui tsai (adik kecil) dibeli dari orang tua mereka yang miskin.

Sebelumnya sistem ini tidak terlalu buruk sampai akhirnya lama-kelamaan sistem ini disalahgunakan. Dengan kurangnya perempuan yang di daerah imigran mui tsai menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan di bordil-bordil.

Pakar sastra Cina, psikolog, dan kolomnis, Myra Sidharta menulis hal ini di artikel Nyonya Lie Tjian Tjoen dalam buku Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof Denys Lombard. Myra menulis situasi semakin memburuk hingga akhirnya Malaya memberlakukan Chinese Protectorate untuk memeriksa kapal-kapal yang masuk dari Cina dan para korban dimasukkan ke dalam panti asuhan yang dinamakan Po Leung Kuk yang didirikan pada 1880. 

Po Leung Kuk memiliki peranan yang cukup penting dalam memberikan perlindungan kepada perempuan-perempuan yang mereka tampung. Mereka juga memberi pelatihan menjahit. Po Leung Kuk juga memberi kesempatan belajar kepada perempuan-perempuan tersebut untuk kelak dapat dididik meraih profesi yang derajatnya lebih tinggi.

Myra menulis pada 1930 pemasukan imigran perempuan dari Cina dipersulit di Malaya. Karena itulah perempuan-perempuan banyak diperdagangkan di Indonesia. Peranan Nyonya Lie Tjian Tjoen ini sangat penting dalam menyelamatkan perempuan-perempuan imigran Cina yang diperdagangkan di Indonesia.

Nyonya Lie Tjian Tjoen lahir dengan nama Auw Tjoei Lan pada 1889 di Majalengka. Ia putri ketiga Kapiten Cina, Auw Seng Hoe. Seorang tuan tanah kaya yang memiliki usaha kebun tebu yang kemudian diolah menjadi gula di pabriknya sendiri. Auw mengerjakan banyak karyawan, termasuk orang Belanda yang tinggal di perkebunannya.

Auw Tjian Tjoen menikah dengan Lie Tjian Tjoen pada 1906. Kemungkinan setelah pernikahan namanya tak lagi digunakan hanya menggunakan nama suaminya sehingga ia dipanggil Nyonya Lie Tjian Tjoen.

Suaminya berasal dari Batavia. Lie kecewa dengan ketika pindah ke Jakarta. Rumah mertuanya berada di tengah-tengah kota di jalan Pintu Besar. Penghuni rumah tersebut cukup banyak dan pekerja rumah tangga pun juga banyak.

Beruntung ia bertemu dengan Dr Zigman. Dr Zigman mengajaknya menjadi pengurus sebuah badan sosial yang mengurus perempuan-perempuan yang kurang beruntung. Jiwa sosialnya sudah lama dipupuk sejak di Majalengka. Di rumah orang tuanya ia terjun ke pekerjaan-pekerjaan amal. Ayahnya juga sangat peduli dengan para gelandangan dan penyandang difabel.

Ayahnya menyediakan makanan dan gubug untuk orang-orang yang kurang beruntung. Putra-putrinya diberikan tugas masing-masing untuk membantu mereka, seperti membagikan kafan atau peti mati untuk yang baru meninggal. Ketika Lebaran, Tjoien Lan diberi tugas untuk membersihkan duri-duri di dalam ikan untuk makan tunanetra.

Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor ini, Myra menuturkan pada suatu saat Tjoei Lan kurang teliti memeriksa duri-duri ikan. Ayahnya melihat pekerjaan Tjoei Lan dan ia dihukum dengan pukulan rotan dan amarah ayahnya. Ayahnya menilai Tjoei Lan tidak bertanggungjawab.

"Tjoei Lan sangat terpukul dengan insiden ini dan ia selalu menyebutnya sebagai sangat penting dalam kehidupan selanjutnya," tulis Myra.

Tambo Penyelamatan Gadis-Gadis Cina

Suatu ketika Tjoei Lan mendapati seorang bayi yang baru lahir ditinggal di depan serambi rumahnya. Bayi tersebut ia besarkan sebagai putranya sendiri. Beberapa kali seorang perawat Zuster Gunning membawa bayi yang baru lahir ke rumahnya untuk merawat bayi tersebut.

Di Ati Sujti organisasi filantropi yang didirikan Dr Zigman, Tjoie Lan berusaha menyelamatkan banyak perempuan Cina yang diperdagangkan. Ia tidak segan keluar malam, sesuatu yang sangat jarang perempuan kelas atas lakukan saat itu. Ia mencari perempuan-perempuan yang diperlakukan tidak wajar.

Ia mengetahui keberadaan perempuan-perempuan itu dari surat dan telepon anonim. Suatu ketika ia mendapatkan surat adanya perempuan muda di sebuah hotel di Kota, Jakarta Pusat.

Myra menulis ketika Tjoei Lan sampai hotel itu ia menemukan sebuah gentong yang bergerak-gerak. Di dalamnya ia menemukan seorang gadis yang kira-kira baru berusia 13 sampai 14 tahun dari Cina yang belum bisa sama sekali bahasa Melayu.

"Gadis ini dibawa ke panti asuhan dan dari dia diperoleh banyak informasi mengenai tata kerja para pedagang," tulis Myra.

Usaha-usaha penyelamatan ini bukan tanpa bahaya. Suatu ketika Tjoei Lan diancam oleh mucikari dengan golok. Tjoie Lan juga meminta bantuan kepada polisi bila ia merasa ada yang tidak beres. Seperti ada kapal masuk dan pedagang-pedagang membawa membawa perempuan dengan jumlah yang mencurigakan.

Penyelamatannya dipuji di media massa perempuan seperti majalah bulanan Istri dan Fu Len. Tapi tidak untuk surat kabar yang didominasi pria seperti Sin Po dan Keng Po. Namun, setelah 1937 ketika Jepang mendeklarasikan perang dengan Cina, kemiskinan makin parah di negara itu. Kedatangan-kedatangan perempuan Cina semakin banyak. Akhirnya surat kabar Sin Pon dan Keng Po mempublikasikan tentang para perempuan yang dijuluki Macaopo yang artinya perempuan dari Makau.

Hingga akhirnya pemuka Cina saat itu HH Kan salah satu anggota Volksraad mengajukan pertanyaan-pertanyaan di rapat Dewa. Meskipun demikian perdagangan perempuan tidak dapat dihapuskan sepenuhnya.

"Karena mereka dimasukkan dengan cara lain. Di Batavia dan di kota-kota besar lain, night club dan tempat-tempat hiburan lain mulai menjamur dan para perempuan dimasukkan untuk bekerja di sana," kata Myra.

Apa yang dilakukan Tjoie Lan sangat berani. Ia melawan tradisi peranakan Cina zaman itu. Di mana mereka tidak bisa dan tidak diperbolehkan bebas bergerak.


(republika)